Sabtu, 02 April 2022

Mujahadah dan Istiqomah

 


Kehidupan Nabi Muhammad saw. di Mekah merupakan contoh yang luar biasa. Di satu sisi beliau menghabiskan seluruh hidup beliau dalam berbagai kesulitan. Beliau seakan-akan sendirian dalam perang Uhud. Sebagai rasulullah (utusan Allah), beliau menunjukkan tingkat keberanian dan keteguhan yang sangat tinggi dalam pertempuran.


Aku katakan yang sebenarnya, selama manusia tidak memasuki lorong (keberanian dan istiqomah) ini, dia tidak akan mendapatkan kesenangan atau kenikmatan.

Inilah kenikmatan yang setiap orang beriman dipanggil oleh Allah Ta'ala untuk menuju kepadanya. Orang merasakan kenikmatan itu sama seperti merasakan kenikmatan lainnya. Orang yang mencarinya tentu bisa menemukannya. Jika ada kelalaian dari sini, maka tidak akan ada pergerakan dari sana. Jika ada perjuangan dari sini, maka akan ada pergerakan juga dari sana.


Perjuangan (mujahadah) adalah sesuatu yang tanpa ia manusia tidak bisa meningkat dan tidak bisa mencapai posisi yang tinggi. 

Allah Ta'ala berfirman dalam Quran Syarif:


وَالَّذِيْنَ جَاھَدُوْا فِيْنَا لَنَھْدِيَنَّھُمْ سُبُلَنَا


"Dan orang-orang yang berjuang untuk Kami, Kami pasti akan memimpin mereka di jalan Kami."

(Al-'Ankabut, 29:69).


Karena itu, berjuanglah dan berjuanglah di jalan Allah, agar jalan Allah terbuka untukmu. Dengan berjalan di jalan itu kamu bisa memperoleh kenikmatan dari Allah. Pada posisi dan keadaan itu, penderitaan dan kesulitan tidak menjadi masalah lagi.


Inilah posisi yang disebut syahiid dalam istilah Quran Syarif. Orang-orang memahami makna syahiid hanyalah orang yang mati terbunuh dalam berperang dengan orang kafir atau non-muslim. Jika syahiid hanya dimaknai seperti itu, maka para penentanng memiliki banyak peluang untuk mengecam. Mungkin inilah sebabnya orang Kristen dan orang Arya menganggap  Islam sebagai agama yang disiarkan dengan pedang.


Syahiid bukan hanya berarti orang yang mati karena berperang dengan non-muslim. Pengertian seperti itu bisa mencemarkan nama baik Islam. Kita masih melihat kebanyakan orang Islam jahil di perbatasan menganggap bahwa membunuh orang Inggris yang tidak bersalah sebagai perbuatan berpahala. Orang-orang jahil itu tidak tahu bahwa itu bukan jihad tetapi pembunuhan orang yang tidak bersalah.


Tujuan Islam bukanlah menimbulkan kerusakan dan kekacauan. Sebaliknya, tujuan Islam adalah mewujudkan kedamaian dan keselarasan.


Orang yang keberatan dengan perang dalam Islam akan terkejut melihat ada beberapa peraturan yang berlaku, seperti anak-anak, orang tua dan perempuan tidak boleh dibunuh. Orang yang membayar jizyah dibebaskan. Perang itu berdasar pada  prinsip pertahanan.


Syahiid artinya orang beriman yang memperoleh anugerah istiqomah khusus dari Allah Ta'ala. Dia dengan senang hati siap menanggung setiap penderitaan dan kesulitan di jalan Allah.

(Disarikan dari Malfuzat Ahmadiyyah, jld.1, hlm. 335-337)

Rabu, 02 Maret 2022

Hubungan Jasmani dan Hubungan Rohani

 


Ada dua macam hubungan di dunia. Pertama, hubungan jasmani, seperti hubungan dengan orang tua (ibu dan ayah), hubungan dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan dsb. Kedua, hubungan ruhani dan keagamaan. Hubungan macam kedua ini, jika sempurna, maka akan lebih unggul daripada semua macam hubungan lainnya. Seseorang akan mencapai kesempurnaan hubungan rohani ini, bila dia berada dalam kebersamaan atau persahabatan hingga waktu yang lama. Lihatlah jamaah (kumpulan) para sahabat yang hidup bersama Rasulullah Muhammad saw. Hubungan rohani mereka dengan Rasulullah Muhammad saw. mencapai kesempurnaan, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tanah air mereka, tidak peduli dengan harta jekayaan mereka, dan tidak peduli dengan kerabat mereka. Bahkan jika perlu, mereka seperti domba yang mempertaruhkan kepala mereka di jalan Allah.

Bagaimana mereka mendapatkan kekuatan dan daya tahan untuk menanggung kesulitan dan penderitaan yang menimpa mereka? Rahasianya adalah hubungan mereka dengan Rasulullah Muhammad saw. sangat erat dan dekat. Mereka telah memahami kebenaran yang dibawa oleh beliau. Kemudian, di mata mereka dunia dan segala isinya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan perjumpaan dengan Allah Ta'ala.


Ingatlah, ketika kebenaran mempunyai pengaruh penuh, maka ia menjadi sebuah cahaya yang menjadi penunjuk jalan bagi orang-orang yang jatuh dalam kegelapan dan menyelamatkan mereka dalam setiap kesulitan.


Serangan pribadi yang dilakukan oleh orang-orang jahat dan kurang pengetahuan, yang dilakukan karena kebencian dan kedengkian, tidak mampu bersaing dengan kebenaran. Bahkan pengaruhnya pada mereka, mereka tidak bisa memahami kebenaran dan kebenaran itu tidak bisa menerangi hati mereka.


Memang benar, manusia dalam keadaan hampir mati ketika dia tidak memahami kebenaran. Begitu dia memahami kebenaran itu, dia merasakan kesegaran dan kegembiraan serta menuju ke cahaya. Bahkan ketika dia paham sepenuhnya, maka tidak ada kegelapan menyentuhnya. Kegelapan melahirkan kegelapan. Cahaya batin membawa cahaya lain. Itulah sebabnya, kegelapan dimisalkan dengan setan, sedangkan cahaya semisal Roh Kudus. Dengan demikian, di tempat cahaya pengetahuan dan keyakinan didirikan (diadakan), di sana tidak ada kegelapan.

(Malfuzat Amadiyyah, jld. 1, hlm. 277-278).

Pengertian _Syahiid_ dan _Shoolih_

 


_Syahiid_ (orang setia), jamaknya _syuhada_, termasuk orang yang berada pada posisi ketiga dari orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah.

Orang awam (umum) memaknai _syahiid_ hanya berarti orang yang mati terbunuh dalam pertempuran, atau orang yang mati tenggelam di sungai, atau orang yang mati karena wabah dsb.

Namun aku katakan bahwa membatasi pengertian _syahiid_ seperti itu dan puas dengan itu, hal itu jauh dari kemuliaan orang beriman.


_Syahiid_ sebenarnya orang yang mendapatkan kekuatan istiqomah dan ketenangan hati dari Allah Ta'ala. Tidak ada goncangan dan malapetaka yang dapat menggoyahkannya. Dia tahan hidup di tengah-tengah penderitaan dan kesulitan. Bahkan jika dia harus memberikan hidupnya demi Allah Ta'ala semata, dia memiliki kegigihan dan kesetiaan yang luar biasa. Dia tunduk kepada-Nya tanpa ada rasa sedih dan menyesal. Dia ingin memperoleh kehidupan berkali-kali dan memanfaatkannya di jalan Allah. Ada kesenangan dan ketenangan di dalam jiwanya, sehingga setiap pedang yang ditimpakan pada tubuhnya dan setiap pukulan yang dilancarkan padanya, semua itu memberinya kehidupan baru, kegembiraan dan kesegaran baru. Inilah arti _syahiid_.


Kata _syahiid_ bisa juga berasal dari kata _syahd_ (madu). 

_Syahiid_ yaitu orang yang siap bertahan, siap menanggung ibadah yang sulit dan menanggung setiap kepahitan di jalan Allah. Dia seperti madu yang memiliki rasa manis. Sebagaimana madu di dalamnya ada obat bagi manusia (16:69). Begitu pula pada _syahiid_ juga ada obat penawar. Orang yang bersahabat dengannya bisa selamat dari banyak penyakit.


Selanjutnya, _syahiid_ juga merupakan sebutan posisi atau keadaan, manusia (seolah-olah) melihat Allah dalam setiap perbuatannya, atau sekurang-kurangnya dia yakin bahwa Allah melihatnya. _Syahiid_ disebut juga _ihsan_.


_Shoolihiin_ (para orang saleh), termasuk orang-orang yang berada pada posisi keempat.

_Shoolihiin_ sebagai orang-orang yang telah terbersihkan dari hal-hal buruk dan tak berguna. Hati mereka sudah bersih.


Sudah menjadi kelaziman, selama benda-benda kotor tidak dijauhkan dan kesehatan masih buruk, maka rasa enak pun terasa pahit di lidah. Ketika badan dalam keadaan baik dan benar-benar sehat, maka segala sesuatu terasa enak dan nikmat.

Demikian pula tatkala manusia terlibat dalam kotoran dosa, keadaan ruh (jiwa) memburuk, kemudian kekuatan ruhaninya mulai melemah, maka dalam beribadah pun tidak ada selera dan kenikmatan baginya. Ada kebingungan dan kecemasan dalam batin.

Tetapi ketika hal-hal buruk yang terjadi karena kehidupan berdosa itu mulai terhapuskan karena pertobatan yang sungguh-sungguh, maka kebingungan dan keresahan dalam jiwa itu  mulai berkurang. Bahkan akhirnya ditemukan kedamaian dan kesenangan dalam hati.


Semula orang merasa mudah dan nyaman dalam melangkah ke arah dosa, dan menemukan kegembiraan dalam perbuatan yang dikendalikan oleh hawa nafsu. Kemudian setelah mencapai posisi sebagai orang saleh, dia menganggap hal itu menjadi penyebab penderitaan dan kesedihan, serta menimbulkan goncangan pada ruh (jiwa). Jika orang membayangkan kehidupan yang gelap itu, kemudian dalam ibadah mulai ada kegairahan, semangat yang meluap-luap, kesukaan dan kenikmatan, itu berarti kekuatan ruhaninya yang telah melemah karena kehidupan yang penuh dosa, mulai tumbuh lagi dan berkembang,  serta kekuatan akhlaknya pun muncul.

(Disarikan dari Malfuzat Ahmadiyyah, jld. 1, hlm. 217-218).

Pengaruh Kedekatan dengan Allah dan Ketulusan

 


Para nabi sebagai pemimpin dan yang berada pada posisi pertama dari semua kelompok orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah. Keunggulan terbesar para nabi yaitu, kepada mereka diungkapkan perkara-perkara gaib yang disebut juga nubuat.


Perlu diingat bahwa doa _Ihdinash shiroothol mustaqiim. Shirootholladziina an'amta 'alaihim_ ini hakikatnya bukanlah doa untuk memohon nubuat. Melainkan doa untuk mencapai posisi atau derajat layak mendapatkan nubuat dari Allah.

Posisi layak mendapatkan nubuat tidak mungkin dicapai, tanpa kedekatan yang sedekat-dekatnya dengan Allah Ta'ala. Pada posisi ini manusia dalam keadaan "tak berbicara atas kemauan sendiri", _wamaa yantiqu 'anil hawaa_ (53:3). Posisi atau derajat ini dicapai ketika nanusia dalam keadaan "mendekat dan bertambah dekat lagi dengan Allah", _danaa fatadallaa_ (53:8). Hingga dia secara bayangan melepaskan kerudung kemanusiaannya dan menyembunyikan diri di bawah kerudung keilahian.


Kapan manusia bisa mencapai posisi ini? Posisi ini bisa dicapai setelah manusia menempuh jalan "suluk". Para sufi yang kurang pengetahuan telah tersandung dan menganggap diri seolah-olah sebagai Tuhan. Dengan batu sandungan itu mereka menyebarkan kesalahan yang berbahaya, yang menghancurkan banyak orang. Batu sandungan itu adalah masalah keberadaan Allah Yang Maha Esa, yang mereka kurang mengetahui hakikatnya.


Selama manusia belum mencapai derajat atau keadaan "tak berbicara atas kemauan sendiri" ( _maa yantiqu 'anil hawaa_), dia tidak bisa memiliki kekuatan untuk menerima dan menyampaikan nubuat. Derajat ini bisa diperoleh ketika manusia mencapai kedekatan dengan Allah. Untuk nencapai posisi dekat dengan Allah, orang perlu mengamalkan _takhollaquu bi akhlaaqillaahi_ (berakhlaklah dengan akhlak Allah) atau berupaya mewarnai diri dengan sifat-sifat Allah, mewujudkan sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah.

Apabila seseorang tidak memuliakan sifat-sifat Allah Ta'ala dengan mengingatnya, dan pada cermin perilakunya tidak terlihat sifat-sifat seperti sifat-sifat-Nya, dia tidak akan bisa mendekat ke hadirat Allah. Dia tidak mungkin bisa menjalin hubungan dengan Allah Ta'ala.


Selanjutnya, para orang tulus (shiddiqin) adalah kelompok yang berada pada posisi kedua.

Ketulusan atau kebenaran sempurna belum terserap dalam diri manusia, selagi dia belum tertarik dengan pertobatan yang sungguh-sungguh ( _taubatan nashuuhan_).

Quran Karim merupakan kumpulan semua kebenaran, dan nama lainnya _Shidq_ (Kebenaran) (39:33).

Selagi manusia belum menjadi tulus atau benar, dia tidak akan bisa mengetahui keunggulan ketulusan atau kebenaran. 


Orang yang berposisi sebagai orang tulus (shiddiq) memperoleh pengetahuan Quran Karim, kehalusan dan kebenaran-kebenarannya, dan dia mencintainya. Karena kebohongan menarik kebohongan, maka pembohong tidak akan pernah mengenal pengetahuan dan kebenaran Al-Quran. Itulah sebabnya Allah berfirman:


لَا يَمَسُّهُ اِلَّا الْمُطَھَّرُوْنَ


"Yang tak seorang pun dapat menyentuhnya, kecuali orang-orang yang disucikan." (Al-Waqi'ah, 56:79).

(Disarikan dari Malfuzat Ahmadiyyah, jld. 1, hlm. 215-217).

Rabu, 09 Februari 2022

Mukjizat dan Nubuat Nabi Muhammad saw.



Aku telah berkali-kali mengatakan tentang empat macam orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi (nabiyyin), para orang tulus (shiddiqin), para orang setia (syuhada'), dan para orang saleh (sholihin) (4:69).


Jadi, dalam doa _Ihdinash shiroothol mustaqiim. Shirootholladziina an'amta 'alaihim_ (Pimpinlah kami pada jalan yang benar. Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat) itu seolah-olah orang memohon keunggulan keempat kelompok orang tersebut.

Keunggulan besar para nabi adalah, mereka mendapat banyak berita dari Allah. Seperti disebutkan dalam Quran Syarif:


فَلَا يُظْھِرُ عَلٰى غَيْبِهٖٓ اَحَدًا - اِلَّا مَنِ ارْتَضٰى مِنْ رَّسُوْلٍ


"Maka Dia tak mengungkapkan kegaiban-Nya kepada seorang pun. Kecuali kepada Utusan yang Dia pilih." (Al-Jinn, 72:26-27).

Yakni Allah Ta'ala tidak memberitahukan perkara gaib kepada seorang pun, kecuali kepada nabi-nabi yang Dia pilih.


Kepada orang yang memperoleh bagian keunggulan kenabian, Allah Ta'ala memberitahu sebelumnya kejadian-kejadian yang akan datang. Hal ini merupakan tanda bukti sangat besar bagi para utusan Allah. Tidak ada mukjizat yang lebih besar daripada itu. Nubuat termasuk mukjizat yang sangat besar. Dari semua Kitab Suci terdahulu dan Quran Karim jelas terbukti bahwa tidak ada tanda bukti yang lebih besar daripada nubuat. Para penentang yang kurang pengetahuan dan dengki tidak pernah memikirkan pengetahuan itu. Mereka keberatan dan tidak setuju dengan mukjizat Rasulullah Muhammad saw. Tetapi sangat disayangkan, orang yang menutup mata dan mengajukan keberatan itu tidak mengetahui bahwa begitu banyak mukjizat yang dipertunjukkan oleh Nabi kita yang mulia Muhammad saw. Bahkan jika mukjizat beliau itu dibandingkan dengan mukjizat semua nabi di dunia, maka aku katakan dengan penuh keyakinan bahwa mukjizat Nabi kita Muhammad saw. akan terbukti lebih unngul.


Quran Syarif penuh dengan nubuat Rasulullah Muhammad saw. Dalam Quran terdapat nubuat (ramalan) hingga Kiamat dan sesudahnya. Bukti tertinggi nubuat-nubuat Rasulullah Muhammad saw. adalah adanya pemberi bukti yang hidup untuk nubuat-nubuat itu pada setiap zaman. Seperti pada zaman ini Allah Ta'ala membangkitkan aku sebagai tanda bukti dan memberikan beberapa nubuat (ramalan) sebagai tanda bukti yang agung. Agar aku menunjukkan dengan terang benderang pada orang-orang yang terhalang dari kebenaran dan ma'rifat Ilahi bahwa mukjizat Nabi kita Muhammad saw. permanen dan abadi.


Apakah ada orang Yahudi atau orang Kristen yang menyebut Yesus Tuhan yang bisa menandingi aku dalam memperlihatkan tanda bukti? Tidak ada seorang pun. Inilah bukti kekuatan penampilan mukjizat utama Nabi kita Muhammad saw.

Mukjizat (karomah) yang terjadi di tangan pengikut nabi bisa disebut sebagai mukjizat nabi yang diikutinya. Hal itu logis dan dapat diterima.

Jadi mukjizat (karomah), tanda-tanda, dan nubuat-nubuat yang diberikan kepadaku itu hakikatnya sebagai mukjizat hidup Rasulullah Muhammad saw.


Sekarang, tidak ada pengikut nabi lain yang punya kebanggaan, yang bisa mempertunjukkan mukjizat (karomah), karena di dalam dirinya ada kekuatan suci nabi yang diikutinya. Kebanggaan itu hanya ada pada Islam. Dengan demikian, diketahui bahwa Rasul yang (seolah-olah) hidup untuk selama-lamanya hanyalah Rasulullah Muhammad saw. yang dengan perantaraan jiwa suci dan kekuatan suci beliau, pada setiap zaman selalu ada orang pilihan Allah, yang mengenal Allah dan membuktikan kehadiran Allah.

(Disarikan dari Malfuzat Ahmadiyyahm jld. 1, hlm. 214-215).

Rabu, 02 Februari 2022

Dua Jalan untuk Menjadi Kekasih Allah



Para sufi menulis, ada dua jalan untuk meningkat, mencapai kedekatan dengan Allah dan menjadi kekasih-Nya, yaitu _suluk_ dan _jadzab_.

_Suluk_ adalah jalan peningkatan dengan berpikir bijaksana dan mengikuti jalan Allah dan rasul-Nya. Sebagaimana difirmankan oleh Allah:


قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَا تَّبِعُوْنِىْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ


"Katakanlah: Jika kamu cinta kepada Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu." 

(Ali Imran, 3:31).


Dengan kata lain, jika kamu ingin dicintai oleh Allah, maka ikutilah Rasulullah Muhammad saw. Beliau adalah pemimpin dan rasul yang sempurna, yang menanggung berbagai penderitaan yang tidak ada bandingannya di dunia ini. Orang yang mengikuti beliau, dengan penuh perjuangan akan mengikuti setiap perkataan dan perbuatan beliau. Pengikut ( _muttabi'_) sejati adalah orang yang mengikuti pemimpin atau panutan ( _matbu'_) dengan segala cara.


Allah Ta'ala tidak suka pada sikap acuh tak acuh, bermalas-malas, dan menghindari kesulitan. Sebaliknya, sikap itu akan mendatangkan murka-Nya. Allah Ta'ala memberikan perintah kepada manusia untuk mengikuti Rasulullah Muhammad saw. Karena itu, pekerjaan seorang penempuh jalan _suluk_ ( _salik_), pertama-tama melihat (membaca) sejarah hidup lengkap Rasulullah Muhammad saw., kemudian mengikuti dan mencontohnya. Perbuatan atau laku seperti itu disebut _suluk_. Di jalan _suluk_ itu ada banyak kesulitan dan penderitaan. Setelah menanggung semua itulah manusia menjadi kenal dan dekat dengan Allah.


Dari derajat _ahlu suluk_ ( _salik_) meningkat ke derajat _ahlu jadzab_ ( _majdzub_).

Allah Ta'ala tidak menempatkan orang-orang yang melakukan _suluk_ tetap pada derajat _salik_. Tetapi Dia sendiri memasukkan mereka dalam penderitaan dan dengan daya tarik abadi menarik mereka ke arah-Nya.

Semua nabi adalah _majdzub_ atau orang yang ditarik dan dicintai Allah.

Ketika ruh atau jiwa manusia dihadapkan pada musibah dan penderitaan, kejadian itu membuatnya terlatih dan berpengalaman, kemudian ia bersinar.

Seperti besi atau kaca, meskipun mempunyai potensi mengkilat, tetapi ia menjadi mengkilat atau cemerlang setelah dipoles atau digosok. Sehingga wajah orang yang melihatnya tampak padanya.

Mujahadah juga berfungsi sebagai upaya keras untuk memoles atau menggosok hati atau jiwa, sehingga ia menjadi bersih cemerlang dan pada cermin hati itu bisa terlihat wajah Allah dan terlukis akhlak (sifat-sifat) Allah. Setelah seseorang melakukan mujahadah dan penyucian hati, sehingga di dalamnya tidak ada lagi kekotoran, maka akhlak nabi bisa tercermin di dalamnya.

Setiap orang beriman membutuhkan penyucian hati sampai batas tertentu. Orang beriman tidak akan memperoleh keselamatan tanpa cermin (kesucian) hati. Penempuh jalan _suluk_ yang memoles atau menggosok jiwanya dengan keinginan dan usahanya sendiri, menanggung penderitaan. Sedangkan penempuh jalan _jadzab_, dia dimasukkan ke dalam penderitaan, Allah sendiri sebagai pemoles atau penggosoknya. Dengan segala macam kesulitan dan penderitaan, dia dipoles atau digosok, kemudian Allah menganugerahinya 'derajat cermin'. Pada dasarnya _salik_ dan _majdzub_ mempunyai hasil yang sama.

Jadi orang bertakwa ada dua bagian, yaitu penempuh jalan _suluk_ dan penempuh jalan _jadzab_. Takwa sampai batas tertentu memerlukan kesulitan. Maka Allah berfirman:


ھُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ


"Petunjuk bagi orang bertakwa. Yang beriman kepada yang Ghaib." (Al-Baqarah, 2:2-3).

Beriman (percaya) kepada yang Ghaib membutuhkan semacam kesulitan.

(Disarikan dari Manzur Ilahi/Malfuzat Ahmadiyyah, jld. 2, hlm. 36-37).

Di Balik Kesulitan Ada Kemuliaan



Orang bertakwa berperang melawan ketidaksabaran. Sebab orang yang tidak sabar bisa jatuh dalam cengkeraman setan.

Salah satu tanda orang bertakwa adalah istiqomah.

Untuk mencapai kesuksesan, manusia seharusnya mengenal Allah, istiqomah, tidak takut dengan musibah, penderitaan dan ujian. Manusia seperti itu akan mencapai keadaan bisa berwawansabda dengan Allah, seperti para nabi.


Banyak orang di dunia ini yang ingin bisa sampai di langit hanya dengan sekali hembusan napas (ingin mencapai kesuksesan secara instan). Mereka itu menggelikan. Mereka seharusnya melihat keadaan para nabi. Perkataan bahwa dengan pergi ke tempat seorang wali, ratusan orang cepat menjadi wali, itu tidak benar. Allah Ta'ala berfirman:


اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْا اَنْ يَّقُوْلُوْا اٰمَنَّا وَھُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ


"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja karena mereka berkata, kami beriman, dan mereka tak akan diuji?"

(Al-'Ankabut, 29:2).

Bagaimana manusia bisa menjadi wali, bila dia belum diuji, belum mengalami cobaan?


Allah Ta'ala mempunyai kebiasaan, bila perlu meninggalkan keluarga lama dan mengambil keluarga lain. Seperti meninggalkan Bani Israil dan mengambil Bani Ismail. Karena Bani Israil telah terjebak dalam kesenangan dan kemewahan, serta melupakan Allah.

Allah Ta'ala berfirman:


وَتِلْكَ الْاَيَّامُ نُدَاوِِلُھَا بَيْنَ النَّاسِ


"Dan Kami mempergilirkan hari-hari di antara manusia." (Ali Imran, 3:140).


Bayazid Bastami (Abu Yazid al-Bustami) sedang berceramah dalam sebuah majelis atau pertemuan. Di sana juga hadir seorang putra Syekh yang memiliki silsilah yang panjang. Dalam hati putera Syekh ada rasa dengki kepada Bayazid. Putea Syekh ini berpikir bahwa Bayazid adalah seorang laki-laki dari keluarga biasa. Tidak mungkin dia punya kemampuan luar biasa (ajaib), sehingga orang-orang condong kepada Bayazid dan tidak condong kepadanya. Pikiran putra Syekh ini Allah tunjukkan (ilhamkan) kepada Bayazid. Maka kemudian Bayazid mulai menyampaikan ceramahnya dalam bentuk sebuah kisah:

Dalam pertemuan di suatu tempat, pada waktu malam,  ada lampu lentera sedang menyala  yang di dalamnya terdapat minyak tanah bercampur air. Terjadi percakapan antara minyak tanah dengan air. Air mengatakan pada minyak tanah, "Kamu kotor. Meskipun kotor, kamu berada di atasku. Sedangkan aku benda yang bersih dan digunakan untuk membersihkan sesuatu. Tetapi aku berada di bawah. Apa sebabnya?" Minyak tanah berkata, "Begitu banyak kesulitan dan penderitaan yang telah aku tanggung dan aku alami. Karena itulah aku di atas, aku mendapatkan kemuliaan. Pada suatu waktu, ketika aku tersembunyi di dalam bumi, aku rendah, hina dan tak berarti. Kemudian atas kehendak Allah aku meningkat dan bernilai tinggi. Aku pernah mengalami berbagai kesulitan. Aku diambil (dipompa) dari dalam bumi, kemudian dipisahkan dari air dan kotoran lainnya, kemudian diangkut ke pabrik pengolahan, setelah melalui proses penyulingan, sebagian hasilnya adalah aku, minyak tanah. Setelah mengalami penderitaan-penderitaan itu, tidak pantaskah aku memperoleh derajat yang tinggi dan kemuliaan?


Kisah itu sebagai satu ibarat bahwa seseorang bisa mencapai derajat wali setelah dia mengalami berbagai kesulitan dan penderitaan.


Allah Ta'ala berfirman, artinya:

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk taman (surga), padahal kamu belum pernah mengalami seperti (apa yang dialami oleh) orang-orang yang sudah lalu sebelummu. Kesengsaraan dan malapetaka telah menimpa mereka, dan mereka diguncangkan sehebat-hebatnya, sampai-sampai rasul dan orang yang beriman dengannya berkata: Kapankah datang pertolongan Allah? Oh, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (Al-Baqarahm 2:214).


Pemikiran bahwa seseorang hanya dengan berkunjung ke seorang wali, tanpa ada perjuangan dan penyucian jiwa, tiba-tiba dia termasuk orang tulus (shiddiqin), itu pemikiran yang mentah.

Allah ridha dengan seseorang setelah dia mengalami penderitaan seperti para nabi.

Allah selalu memasukkan hamba-Nya dalam cobaan, kemudian barulah menerimanya.

(Disarikan dari Manzur Ilahi/Malfuzat Ahmadiyyah, jld. 2, hlm. 35-36).