Rabu, 02 Februari 2022

Di Balik Kesulitan Ada Kemuliaan



Orang bertakwa berperang melawan ketidaksabaran. Sebab orang yang tidak sabar bisa jatuh dalam cengkeraman setan.

Salah satu tanda orang bertakwa adalah istiqomah.

Untuk mencapai kesuksesan, manusia seharusnya mengenal Allah, istiqomah, tidak takut dengan musibah, penderitaan dan ujian. Manusia seperti itu akan mencapai keadaan bisa berwawansabda dengan Allah, seperti para nabi.


Banyak orang di dunia ini yang ingin bisa sampai di langit hanya dengan sekali hembusan napas (ingin mencapai kesuksesan secara instan). Mereka itu menggelikan. Mereka seharusnya melihat keadaan para nabi. Perkataan bahwa dengan pergi ke tempat seorang wali, ratusan orang cepat menjadi wali, itu tidak benar. Allah Ta'ala berfirman:


اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْا اَنْ يَّقُوْلُوْا اٰمَنَّا وَھُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ


"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja karena mereka berkata, kami beriman, dan mereka tak akan diuji?"

(Al-'Ankabut, 29:2).

Bagaimana manusia bisa menjadi wali, bila dia belum diuji, belum mengalami cobaan?


Allah Ta'ala mempunyai kebiasaan, bila perlu meninggalkan keluarga lama dan mengambil keluarga lain. Seperti meninggalkan Bani Israil dan mengambil Bani Ismail. Karena Bani Israil telah terjebak dalam kesenangan dan kemewahan, serta melupakan Allah.

Allah Ta'ala berfirman:


وَتِلْكَ الْاَيَّامُ نُدَاوِِلُھَا بَيْنَ النَّاسِ


"Dan Kami mempergilirkan hari-hari di antara manusia." (Ali Imran, 3:140).


Bayazid Bastami (Abu Yazid al-Bustami) sedang berceramah dalam sebuah majelis atau pertemuan. Di sana juga hadir seorang putra Syekh yang memiliki silsilah yang panjang. Dalam hati putera Syekh ada rasa dengki kepada Bayazid. Putea Syekh ini berpikir bahwa Bayazid adalah seorang laki-laki dari keluarga biasa. Tidak mungkin dia punya kemampuan luar biasa (ajaib), sehingga orang-orang condong kepada Bayazid dan tidak condong kepadanya. Pikiran putra Syekh ini Allah tunjukkan (ilhamkan) kepada Bayazid. Maka kemudian Bayazid mulai menyampaikan ceramahnya dalam bentuk sebuah kisah:

Dalam pertemuan di suatu tempat, pada waktu malam,  ada lampu lentera sedang menyala  yang di dalamnya terdapat minyak tanah bercampur air. Terjadi percakapan antara minyak tanah dengan air. Air mengatakan pada minyak tanah, "Kamu kotor. Meskipun kotor, kamu berada di atasku. Sedangkan aku benda yang bersih dan digunakan untuk membersihkan sesuatu. Tetapi aku berada di bawah. Apa sebabnya?" Minyak tanah berkata, "Begitu banyak kesulitan dan penderitaan yang telah aku tanggung dan aku alami. Karena itulah aku di atas, aku mendapatkan kemuliaan. Pada suatu waktu, ketika aku tersembunyi di dalam bumi, aku rendah, hina dan tak berarti. Kemudian atas kehendak Allah aku meningkat dan bernilai tinggi. Aku pernah mengalami berbagai kesulitan. Aku diambil (dipompa) dari dalam bumi, kemudian dipisahkan dari air dan kotoran lainnya, kemudian diangkut ke pabrik pengolahan, setelah melalui proses penyulingan, sebagian hasilnya adalah aku, minyak tanah. Setelah mengalami penderitaan-penderitaan itu, tidak pantaskah aku memperoleh derajat yang tinggi dan kemuliaan?


Kisah itu sebagai satu ibarat bahwa seseorang bisa mencapai derajat wali setelah dia mengalami berbagai kesulitan dan penderitaan.


Allah Ta'ala berfirman, artinya:

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk taman (surga), padahal kamu belum pernah mengalami seperti (apa yang dialami oleh) orang-orang yang sudah lalu sebelummu. Kesengsaraan dan malapetaka telah menimpa mereka, dan mereka diguncangkan sehebat-hebatnya, sampai-sampai rasul dan orang yang beriman dengannya berkata: Kapankah datang pertolongan Allah? Oh, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (Al-Baqarahm 2:214).


Pemikiran bahwa seseorang hanya dengan berkunjung ke seorang wali, tanpa ada perjuangan dan penyucian jiwa, tiba-tiba dia termasuk orang tulus (shiddiqin), itu pemikiran yang mentah.

Allah ridha dengan seseorang setelah dia mengalami penderitaan seperti para nabi.

Allah selalu memasukkan hamba-Nya dalam cobaan, kemudian barulah menerimanya.

(Disarikan dari Manzur Ilahi/Malfuzat Ahmadiyyah, jld. 2, hlm. 35-36).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar