Rabu, 02 Maret 2022

Pengaruh Kedekatan dengan Allah dan Ketulusan

 


Para nabi sebagai pemimpin dan yang berada pada posisi pertama dari semua kelompok orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah. Keunggulan terbesar para nabi yaitu, kepada mereka diungkapkan perkara-perkara gaib yang disebut juga nubuat.


Perlu diingat bahwa doa _Ihdinash shiroothol mustaqiim. Shirootholladziina an'amta 'alaihim_ ini hakikatnya bukanlah doa untuk memohon nubuat. Melainkan doa untuk mencapai posisi atau derajat layak mendapatkan nubuat dari Allah.

Posisi layak mendapatkan nubuat tidak mungkin dicapai, tanpa kedekatan yang sedekat-dekatnya dengan Allah Ta'ala. Pada posisi ini manusia dalam keadaan "tak berbicara atas kemauan sendiri", _wamaa yantiqu 'anil hawaa_ (53:3). Posisi atau derajat ini dicapai ketika nanusia dalam keadaan "mendekat dan bertambah dekat lagi dengan Allah", _danaa fatadallaa_ (53:8). Hingga dia secara bayangan melepaskan kerudung kemanusiaannya dan menyembunyikan diri di bawah kerudung keilahian.


Kapan manusia bisa mencapai posisi ini? Posisi ini bisa dicapai setelah manusia menempuh jalan "suluk". Para sufi yang kurang pengetahuan telah tersandung dan menganggap diri seolah-olah sebagai Tuhan. Dengan batu sandungan itu mereka menyebarkan kesalahan yang berbahaya, yang menghancurkan banyak orang. Batu sandungan itu adalah masalah keberadaan Allah Yang Maha Esa, yang mereka kurang mengetahui hakikatnya.


Selama manusia belum mencapai derajat atau keadaan "tak berbicara atas kemauan sendiri" ( _maa yantiqu 'anil hawaa_), dia tidak bisa memiliki kekuatan untuk menerima dan menyampaikan nubuat. Derajat ini bisa diperoleh ketika manusia mencapai kedekatan dengan Allah. Untuk nencapai posisi dekat dengan Allah, orang perlu mengamalkan _takhollaquu bi akhlaaqillaahi_ (berakhlaklah dengan akhlak Allah) atau berupaya mewarnai diri dengan sifat-sifat Allah, mewujudkan sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah.

Apabila seseorang tidak memuliakan sifat-sifat Allah Ta'ala dengan mengingatnya, dan pada cermin perilakunya tidak terlihat sifat-sifat seperti sifat-sifat-Nya, dia tidak akan bisa mendekat ke hadirat Allah. Dia tidak mungkin bisa menjalin hubungan dengan Allah Ta'ala.


Selanjutnya, para orang tulus (shiddiqin) adalah kelompok yang berada pada posisi kedua.

Ketulusan atau kebenaran sempurna belum terserap dalam diri manusia, selagi dia belum tertarik dengan pertobatan yang sungguh-sungguh ( _taubatan nashuuhan_).

Quran Karim merupakan kumpulan semua kebenaran, dan nama lainnya _Shidq_ (Kebenaran) (39:33).

Selagi manusia belum menjadi tulus atau benar, dia tidak akan bisa mengetahui keunggulan ketulusan atau kebenaran. 


Orang yang berposisi sebagai orang tulus (shiddiq) memperoleh pengetahuan Quran Karim, kehalusan dan kebenaran-kebenarannya, dan dia mencintainya. Karena kebohongan menarik kebohongan, maka pembohong tidak akan pernah mengenal pengetahuan dan kebenaran Al-Quran. Itulah sebabnya Allah berfirman:


لَا يَمَسُّهُ اِلَّا الْمُطَھَّرُوْنَ


"Yang tak seorang pun dapat menyentuhnya, kecuali orang-orang yang disucikan." (Al-Waqi'ah, 56:79).

(Disarikan dari Malfuzat Ahmadiyyah, jld. 1, hlm. 215-217).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar