Rabu, 02 Maret 2022

Pengertian _Syahiid_ dan _Shoolih_

 


_Syahiid_ (orang setia), jamaknya _syuhada_, termasuk orang yang berada pada posisi ketiga dari orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah.

Orang awam (umum) memaknai _syahiid_ hanya berarti orang yang mati terbunuh dalam pertempuran, atau orang yang mati tenggelam di sungai, atau orang yang mati karena wabah dsb.

Namun aku katakan bahwa membatasi pengertian _syahiid_ seperti itu dan puas dengan itu, hal itu jauh dari kemuliaan orang beriman.


_Syahiid_ sebenarnya orang yang mendapatkan kekuatan istiqomah dan ketenangan hati dari Allah Ta'ala. Tidak ada goncangan dan malapetaka yang dapat menggoyahkannya. Dia tahan hidup di tengah-tengah penderitaan dan kesulitan. Bahkan jika dia harus memberikan hidupnya demi Allah Ta'ala semata, dia memiliki kegigihan dan kesetiaan yang luar biasa. Dia tunduk kepada-Nya tanpa ada rasa sedih dan menyesal. Dia ingin memperoleh kehidupan berkali-kali dan memanfaatkannya di jalan Allah. Ada kesenangan dan ketenangan di dalam jiwanya, sehingga setiap pedang yang ditimpakan pada tubuhnya dan setiap pukulan yang dilancarkan padanya, semua itu memberinya kehidupan baru, kegembiraan dan kesegaran baru. Inilah arti _syahiid_.


Kata _syahiid_ bisa juga berasal dari kata _syahd_ (madu). 

_Syahiid_ yaitu orang yang siap bertahan, siap menanggung ibadah yang sulit dan menanggung setiap kepahitan di jalan Allah. Dia seperti madu yang memiliki rasa manis. Sebagaimana madu di dalamnya ada obat bagi manusia (16:69). Begitu pula pada _syahiid_ juga ada obat penawar. Orang yang bersahabat dengannya bisa selamat dari banyak penyakit.


Selanjutnya, _syahiid_ juga merupakan sebutan posisi atau keadaan, manusia (seolah-olah) melihat Allah dalam setiap perbuatannya, atau sekurang-kurangnya dia yakin bahwa Allah melihatnya. _Syahiid_ disebut juga _ihsan_.


_Shoolihiin_ (para orang saleh), termasuk orang-orang yang berada pada posisi keempat.

_Shoolihiin_ sebagai orang-orang yang telah terbersihkan dari hal-hal buruk dan tak berguna. Hati mereka sudah bersih.


Sudah menjadi kelaziman, selama benda-benda kotor tidak dijauhkan dan kesehatan masih buruk, maka rasa enak pun terasa pahit di lidah. Ketika badan dalam keadaan baik dan benar-benar sehat, maka segala sesuatu terasa enak dan nikmat.

Demikian pula tatkala manusia terlibat dalam kotoran dosa, keadaan ruh (jiwa) memburuk, kemudian kekuatan ruhaninya mulai melemah, maka dalam beribadah pun tidak ada selera dan kenikmatan baginya. Ada kebingungan dan kecemasan dalam batin.

Tetapi ketika hal-hal buruk yang terjadi karena kehidupan berdosa itu mulai terhapuskan karena pertobatan yang sungguh-sungguh, maka kebingungan dan keresahan dalam jiwa itu  mulai berkurang. Bahkan akhirnya ditemukan kedamaian dan kesenangan dalam hati.


Semula orang merasa mudah dan nyaman dalam melangkah ke arah dosa, dan menemukan kegembiraan dalam perbuatan yang dikendalikan oleh hawa nafsu. Kemudian setelah mencapai posisi sebagai orang saleh, dia menganggap hal itu menjadi penyebab penderitaan dan kesedihan, serta menimbulkan goncangan pada ruh (jiwa). Jika orang membayangkan kehidupan yang gelap itu, kemudian dalam ibadah mulai ada kegairahan, semangat yang meluap-luap, kesukaan dan kenikmatan, itu berarti kekuatan ruhaninya yang telah melemah karena kehidupan yang penuh dosa, mulai tumbuh lagi dan berkembang,  serta kekuatan akhlaknya pun muncul.

(Disarikan dari Malfuzat Ahmadiyyah, jld. 1, hlm. 217-218).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar