Senin, 02 November 2020

Menjaga Lisan



Tanpa takwa sejati, manusia tidak bisa menemukan ketenangan dan kebahagiaan. Ketahuilah, takwa memiliki banyak cabang yang tersebar seperti jaring laba-laba. Takwa berhubungan dengan semua anggota badan manusia, keimanan, perkataan, akhlak dsb.

Masalah yang paling sulit dan peka adalah masalah lisan. Terkadang manusia dengan melepaskan takwa mengatakan suatu hal yang buruk, tapi hatinya senang mengatakan seperti itu.

Aku ingat sebuah kisah. Ada seorang pecinta perkara duniawi mengundang seorang wali untuk makan bersama. Ketika wali itu hadir untuk makan bersama, pecinta hal duniawi yang sombong itu berkata kepada pelayannya, "Ambilkan piring besar yang kita beli saat haji pertama." Kemudian dia berkata, "Ambilkan piring besar lainnya yang dibeli pada waktu haji kedua." Kemudian dia berkata lagi, "Ambilkan juga piring besar yang dibeli saat haji ketiga."

Wali itu berkata, "Kamu sangat menyedihkan. Dalam tiga kalimat kamu telah merusakkan ketiga ibadah haji kamu. Dari apa yang kamu katakan tadi, tujuanmu hanyalah, ingin menyatakan bahwa kamu telah melaksanakan tiga kali ibadah haji."

Allah telah mengajarkan agar manusia selalu mengendalikan lisannya dan menghindari hal-hal yang tidak berarti atau tidak perlu.

Lihatlah, Allah Ta'ala telah mengajarkan iyyaaka na'budu (kepada-Mu kami mengabdi). Ada kemungkinan, nanusia mengandalkan kekuatannya sendiri dan berpaling dari Allah. Karenanya, bersama itu Allah juga mengajarkan iyyaaka nasta'iin (kepada-Mu kami mohon pertolongan).

Jangan kamu anggap ibadah yang kamu lakukan itu, terlaksana dengan kekuatan dan kemampuanmu sendiri. Sama sekali tidak. Sebaliknya, selama tidak ada pertolongan Allah Ta'ala, Zat Yang Maha Suci tidak memberikan taufik dan kekuatan, tidak akan ada yang bisa terjadi.

Karena lisan (yang tidak terkendali), manusia bisa jauh dari takwa, bersikap sombong, mempunyai sifat Fir'aun, bisa menukar amal tersembunyi menjadi riya'.

Disebutkan dalam Hadis Syarif:

مَنْ يَضْمَنْ لِى مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ اَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

"Siapa yang bisa menjamin (kesucian) untukku apa yang ada di antara dua tulang rahangnya (lisan) dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan), aku akan menjamin surga baginya." (Bukhari no. 6474).

Orang bertakwa hendaklah benar-benar mengendalikan lisannya. Jangan sampai darinya keluar kata-kata yang bertentangan dengan takwa. Kuasailah lisanmu, bukan malah lisanmu yang menguasaimu, yang berbicara dengan membabi buta.

Pikirkanlah bagaimana akibatnya, setiap hal sebelum kamu katakan. Seberapa jauh Allah Ta'ala membolehkannya. Jangan berbicara sebelum berpikir. Lebih baik tidak berbicara dengan bicara yang menyebabkan kerusakan.

Tetapi menghentikan pengungkapan perkara kebenaran, tindakan ini juga jauh dari kemuliaan orang beriman. Jangan hentikan lisanmu dalam menyampaikan kebenaran, karena takut akan celaan para pencela. Lihatlah Nabi kita yang mulia Muhammad saw. Tatkala beliau mengumumkan kenabian beliau, hampir semuanya memusuhi beliau. Tetapi beliau tidak pernah menghiraukan mereka sesaat pun. Tiada henti, beliau terus berdakwah.

Pencegahan lisan dari perkataan yang bertentangan dengan kehendak dan keridhaan Allah Ta'ala itu perlu. Sama halnya, penggunaan lisan untuk pengungkapan perkara kebenaran itu juga perlu.

Perbuatan amar ma'ruf nahi munkar (menyuruh kepada kebaikan dan mencegah keburukan) termasuk kemuliaan orang beriman. Sebelum melakukan amar ma'ruf nahi munkar, orang hendaklah menunjukkan bukti dengan perbuatannya bahwa dia memiliki kekuatan itu dalam dirinya. Karena sebelum memengaruhi orang lain, dia harus membuat keadaannya sendiri berpengaruh.

(Disarikan dari Malfuzat Ahmadiyyah, jld. 1, hlm. 222-223).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar