Dalam Al-Quran (Al-Baqarah, 2:1-2), Allah Ta'ala menyebutkan empat aspek tentang Quran Karim, yaitu pelaku atau penciptanya, materinya, sifatnya, dan tujuan atau faedahnya. Secara lengkap dijelaskan:
الّمّّ
[Huruf muqottho'at atau huruf singkatan: Alif berarti anaa (Aku), lam berarti Allah, dan mim berarti a'lam (Yang Maha Tahu), pent.].
Ayat yang terdiri dari huruf singkatan ini mengisyaratkan bahwa Allah Yang Maha Tahu telah menurunkan kalam (firman) itu kepada Rasulullah Muhammad saw. Ini menunjukkan aspek pelaku atau pencipta Al-Quran.
ذَلِكَ الْكِتَابُ
(Kitab ini). Ini menunjukkan aspek materi Al-Quran, berupa kitab.
لَا رَيْبَ فِيْهِ
(Tak ada keragu-raguan di dalamnya). Ini menunjukkan aspek sifat Al-Quran.
Dalam segala sesuatu mungkin bisa terjadi keragu-raguan dan kecurigaan. Tetapi Quran Karim adalah kitab yang di dalamnya tidak ada keragu-raguan sama sekali. Ketika Allah Ta'ala memberitahukan keagungan kitab itu, bahwa tidak ada keragu-raguan di dalamnya, maka tentu saja setiap orang yang mempunyai fitrah baik dan jiwa taat, secara alamiah akan suka dan menginginkannya. Sehingga dia mengamalkan petunjuk-petunjuknya. Sayang sekali bila keunggulan Quran Syarif yang jelas dan meyakinkan itu tidak disampaikan di muka dunia. Padahal dalam keunggulan, kesempurnaan dan keindahan Quran Syarif terdapat suatu daya tarik. Sehingga dengan sendirinya hati manusia tergerak padanya.
Seperti bila diperkenalkan sebuah taman yang indah, yang di dalamnya ada pohon-pohon yang rindang dan menyegarkan, bunga-bunga yang wangi, beberapa jalan setapak, dan parit serta sungai dengan air jernihnya yang nengalir. Setiap orang tentu ingin berjalan-jalan di dalamnya dan menikmatinya. Apabila diberitahukan juga bahwa di dalamnya ada beberapa mata air yang memancarkan air yang bisa menyembuhkan beberapa penyakit, maka akan semakin banyak orang yang ingin pergi ke sana dengan bersemangat.
Demikian pula, bila dijelaskan keindahan dan kesempurnaan Quran Syarif dengan kalimat yang sangat indah dan menarik, maka ruh dengan gairah penuh akan lari kepadanya.
Sebenarnya, sarana untuk kepuasan dan kesenangan ruh, dan hal yang bisa memenuhi kebutuhan hakiki ruh terdapat di dalam Quran Karim. Maka, Allah Ta'ala berfirman:
ھُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ
(Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa). Ini menunjukkan tujuan atau faedah Al-Quran.
Allah berfirman di tempat lain, dalam Quran Syarif:
لَا يَمَسُّهُ اِلَّا الْمُطَھَّرُوْنَ
"Tak seorang pun dapat menyentuhnya, kecuali orang-orang yang disucikan." (Al-Waqi'ah, 56:79).
Muthohharuun (orang-orang yang disucikan) maksudnya muttaqiin (orang-orang yang bertakwa).
Dari ayat itu dapat diketahui dengan jelas bahwa takwa adalah syarat untuk penyingkapan ilmu Qurani.
Satu perbedaan besar antara syarat untuk memperoleh ilmu lahiriah (ilmu duniawi atau ilmu biasa) dengan ilmu Qurani adalah:
Untuk memperoleh ilmu duniawi atau ilmu biasa tidak ada syarat takwa. Orang yang ingin membaca (mempelajari) ilmu nahwu dan sharaf, pengetahuan alam, filsafat, kedokteran dan obat-obatan tidak harus menjalankan puasa dan shalat, setiap saat mengingat dan memperhatikan perintah dan larangan Ilahi, dan menyesuaikan setiap perkataan dan perbuatannya dengan aturan Allah Ta'ala. Sebaliknya, sering diketahui sebagian ahli dan pencari ilmu duniawi menjadi ateis dan terlibat dalam berbagai perbuatan dosa.
Tetapi untuk mengenal ilmu samawi dan rahasia Qurani, syarat pertamanya adalah takwa. Untuk itu, diperlukan pertobatan yang sungguh-sungguh. Selama manusia tidak menjalankan perintah serta aturan Allah Ta'ala, dan tidak kembali kepada Allah Yang Maha Agung dan Maha Kuasa dengan kerendahan hati, pintu ilmu Qurani tidak bisa terbuka untuknya. Dia tidak bisa memperoleh alat atau sarana pemeliharaan kekuatan ruh dari Quran Syarif, yang bisa melahirkan rasa nikmat dan puas.
Quran Syarif adalah Kitab Allah Ta'ala, dan kandungan ilmunya ada di tangan-Nya. Takwa sebagai tangga untuk meraihnya. Karena itu, meski seseorang disebut muslim, ahli ilmu nahwu dan sharaf, ilmu ma'ani dsb., dan dalam pandangan dunia dia sebagai orang yang unggul dalam ilmu agama, tetapi jika tidak melakukan penyucian jiwa, dia tidak memperoleh bagian ilmu Quran Syarif.
(Disarikan dari Malfuzat Ahmadiyyah, jld. 1, hlm. 224-225),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar