Dengan rahmat-Nya, Allah Ta'ala telah memberikan kemampuan besar kepada umat ini, sebagai salah satu bukti bahwa Nabi Muhammad saw. Khootamun Nabiyyiin (segel atau penutup para nabi). Ada hadis:
"'Ulamaa'u ummatii ka anbiyaa'i banii isroo'iil."
Artinya, "Ulama umatku seperti nabi-nabi Bani Israil."
Meskipun ada sebagian ahli hadis yang meragukan kesahihan hadis itu, namun cahaya hati kita menetapkan bahwa hadis itu sahih, kita menerimanya dengan tanpa ada perselisihan. Seorang wali Allah dengan berdasar kasyaf tidak menolak hadis itu. Bahkan seandainya ada orang lain yang menolaknya, beliau tetap membenarkan hadis itu.
Jangan terkecoh dengan kata ulama. Sebagian orang hanya terpaku pada kata-kata, dan tidak berusaha mencapai maknanya yang dalam. Itulah sebabnya mereka tidak bisa bersaing dalam tafsir Quran Syarif. Ingatlah, alim (ulama) yang tahu ilmu Ilahi bukanlah orang yang tidak ada bandingannya dalam ilmu Shorof, Nahwu dan Mantiq. Ulama yang tahu ilmu Ilahi adalah orang yang senantiasa takut kepada Allah Ta'ala, dan tidak keluar kata-kata kotor dan kasar dari lisannya.
Namun terjadi pada zaman sekarang ini, tukang memandikan jenazah pun menyebut dirinya ulama. Dengan demikian dia telah mereduksi makna kata ulama. Dia telah memahami kata ulama bertentangan dengan yang dimaksud oleh Allah Ta'ala. Dalam Quran Syarif dijelaskan sifat ulama:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama." (Al Fathir, 35:28).
Perlu dilihat, orang-orang yang dalam dirinya tidak ditemukan sifat takut dan takwa kepada Allah, mereka sama sekali tidak berhak disebut ulama. Pada dasarnya, 'ulama' adalah jamak dari 'alim' (orang yang berilmu). Ilmu adalah sesuatu yang benar dan meyakinkan. Ilmu yang benar (ilmu sejati) dapat ditemukan dari Quran Syarif, bukan dari filsafat Yunani dan filsafat Inggris sekarang ini. Bahkan iman yang benar (iman sejati) dapat diperoleh dengan perantaraan filsafat Quran Karim. Kesempurnaan dan kenaikan orang beriman
adalah bila dia mencapai derajat ulama. Dia memperoleh tingkat ilmu tertinggi, yaitu tingkat haqqul yaqiin (keyakinan sejati). Tetapi orang yang tidak mengambil faedah dari ilmu yang benar, dan jalan makrifat serta basirah tidak terbuka untuknya, meskipun dengan lisannya dia menyatakan diri sebagai ulama, hakekatnya dia sama sekali tidak mendapatkan keindahan dan sifat ilmu yang benar. Cahaya yang dapat ditemukan dari ilmu yang benar, sama sekali tidak ditemukan padanya. Sebaliknya, orang seperti itu benar-benar dalan kerugian. Akhiratnya penuh dengan asap dan kegelapan. Sehubungan dengan itu Allah Ta'ala berfirman:
"Orang yang buta di dunia ini, dia akan buta pula di akhirat." (Bani Israil, 17:72).
Yakni, orang yang di sini (di dunia) tidak diberi ilmu basirah dan makrifat, di sana (di akhirat) dia tidak akan tahu apa-apa. Mata yang bisa melihat Allah Ta'ala harus dibawa dari dunia ini. Orang yang tidak mengupayakan mata seperti itu di sini (di dunia), dia seharusnya tidak berharap akan melihat Allah di Akhirat. Namun orang-orang yang diberi makrifat dan basirah sejati, dan dia dianugerahi ilmu yang hasilnya takut kepada Allah, dialah orang yang dalam hadis dipersamakan dengan nabi-nabi Bani Israil. Allah Ta'ala telah memberikan sumber ilmu yang benar (ilmu sejati) dalam Quran Syarif pada umat ini. Barang siapa memperoleh kebenaran dan kebijaksanaan yang dijelaskan dalam Quran Syarif, yang hanya bisa diperoleh dengan takwa yang sebenarnya dan takut kepada Allah, dia memperoleh ilmu yang menjadikan dia seperti nabi-nabi Bani Israil.
Sungguh benar, orang yang diberi senjata, bila dia tidak memanfaatkannya, itu kesalahan dia sendiri, bukan kesalahan senjata itu. Keadaan yang sedang terjadi di dunia sekarang ini, meskipun umat Islam mempunyai Quran Syarif sebagai karunia yang tiada taranya, yang menyelamatkan mereka dari setiap kesesatan dan mengeluarkan mereka dari setiap kegelapan; tetapi mereka meninggalkannya, tidak peduli sedikit pun pada ajaran sucinya. Akibatnya mereka jauh sama sekali dari Islam. Sehingga seandainya sekarang Islam yang hakiki disajikan pada mereka, karena mereka benar-benar lalai, maka mukmin sejati pun dikatakan kafir.
(Manzur Ilahi/Malfuzat Ahmadiyyah jld. 2, hlm. 157-158).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar