Mewakafkan Hidup
“Dan mengabdilah kepada Tuhan dikau, sampai
apa yang meyakinkan itu datang kepada engkau.” (Q.S. Al-Hijr, 15:99).
Para mufasir (ulama ahli tafsir)
berpendapat bahwa al-yaqiin (apa yang
meyakinkan) berarti kematian. Apa maksud sebenarnya? Saya katakan, kematian itu
maksudnya kematian secara ruhaniah, atau mewakafkan hidup di jalan Allah.
Orang beriman hendaklah tidak merasa lelah
dan malas dalam beribadah hingga kehidupan palsu ini menjadi hangus, dan
sebagai gantinya muncul rangkaian kehidupan baru yang abadi dan kehidupan yang
memberikan ketenangan. Selagi nafsu duniawi dalam kehidupan yang sementara ini
belum menjauh, belum muncul kelezatan dalam iman dan kedamaian dalam ruh, maka
fahamilah bahwa itu berarti belum ada iman yang sempurna dan benar. Untuk itu
Allah Ta’ala berfirman bahwa kalian hendaklah tetap terus beribadah sampai
mencapai tingkatan keyakinan yang sempurna, semua tabir kegelapan hilang,
kalian mengerti bahwa sekarang kalian tidak seperti dulu lagi melainkan sebagai
makhluk baru. Inilah kehidupan kedua, yang para sufi menyebutnya dengan istilah
baqa. Tatkala manusia mencapai
tingkatan ini, maka terjadilah peniupan ruh Allah padanya. Malaikat turun
padanya. Inilah rahasianya, sehubungan dengan Abu Bakar r.a. Rasulullah
Muhammad saw. bersabda bahwa jika ada orang yang ingin melihat orang mati
berjalan di atas bumi, maka lihatlah Abu Bakar. Derajat Abu Bakar r.a. ini
bukan dari amal lahiriahnya, melainkan dari hal-hal yang ada dalam hatinya.
Ingatlah! Sehubungan dengan iman, ada
rahasia di antara orang beriman dengan Allah Ta’ala, Di antara semua makhluk
tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali orang beriman itu sendiri.
Kadang-kadang orang yang tidak punya akses untuk ilmu Allah dan pengenalan
Allah, karena ketidaktahuannya tentang hubungan seorang mukmin dengan Allah
Ta’ala, maka dia merasa heran melihat sebagian keadaannya, misalnya masalah
rezeki dan penghidupannya. Terkadang rasa heran ini berkembang dan mengarah pada
buruk sangka padanya dan kesesatan. Hal ini disebabkan oleh pandangannya yang
terbatas, dan dia tidak mengenal rahasia antara mukmin itu dengan Allah
Ta’ala. Saya ingin, akan ada rahasia
antara teman-teman kita dengan Allah
Ta’ala, seperti halnya para sahabat Nabi saw. yang mulia.
Pendek kata, manusia hendaklah mewakafkan
hidupnya di jalan Allah Ta’ala. Saya membaca, dalam beberapa Koran diwartakan
bahwa orang Arya tertentu mewakafkan hidupnya untuk Arya Samaj, pendeta
tertentu membaktikan sepanjang umurnya untuk misi (Kristen). Saya heran,
mengapa orang-orang Islam tidak mewakafkan hidupnya di jalan Allah dan untuk
layanan Islam? Lihatlah, pada zaman Rasulullah Muhammad saw. yang barakah!
Dapat diketahui, bagaimana Rasulullah saw. dan para sahabat r.a. mewakafkan
hidupnya untuk kehidupan Islam.
Ingatlah, (mewakafkan hidup di jalan Allah)
ini bukanlah perdagangan yang rugi, tetapi perdagangan yang tak terbatas
keuntungannya. Semoga orang-orang Islam mengetahui manfaat dan keuntungan perdagangan ini. Orang yang mewakafkan
hidupnya untuk Allah, untuk agama-Nya, apakah kehidupannya hancur? Sama sekali
tidak. Dengan wakaf demi Allah itu, dia mendapat ganjaran dari Tuhannya, dan
diselamatkan serta dibebaskan dari segala macam ketakutan, penderitaan dan kesedihan
(Q.S. 2:112).
Saya heran, bila setiap insan secara
naluriah ingin kedamaian, dan ingin selamat dari ketakutan, penderitaan dan
kesedihan, lalu apa sebabnya ketika disampaikan resep yang teruji keampuhannya
untuk penyakit itu, dia tidak memperhatikannya? Apakah resep wakaf demi Allah
tidak terbukti ampuh sejak dahulu kala?
Apakah para sahabat Nabi Muhammad saw. yang mulia, karena wakaf itu,
tidak berhak menjadi waris kehidupan suci dan kehidupan abadi? Lalu apa
sebabnya orang enggan mengambil manfaat dari efek resep itu? Masalah pokoknya,
karena orang tidak mengenal kebenaran ini, dan tidak mengenal kenikmatan yang
diperoleh setelah pelaksanaan wakaf itu. Sebaliknya, seandainya dia merasakan
kenikmatan ini sedikit saja, tentu dengan menggebu dia akan datang di medan
ini.
Saya sendiri berpengalaman untuk jalan ini
(wakaf demi Allah, pent.), dan hanya karena anugerah Allah, saya menikmati
kemudahan dan kenikmatan ini. Saya berkeinginan, seandainya saya mati kemudian
hidup lagi, kemudian mati dan kemudian hidup lagi, untuk mewakafkan hidup di
jalan Allah, maka setiap kali, hasrat saya dengan kenikmatan akan
bertambah.
Akhirnya, karena saya sendiri
berpengalaman, dan Allah Ta’ala menganugerahkan semangat pada saya untuk wakaf
ini, maka seandainya dikatakan pada saya bahwa dalam wakaf (hidup) itu tidak
ada pahala dan faedahnya, melainkan hanya akan ada penderitaan dan
kesusahan, maka saya masih tetap tidak
dapat berhenti dalam pelayanan Islam. Karena itu, saya menganggap wajib untuk
mewasiatkan pada jemaah saya, dan menyampaikan hal ini. Selanjutnya pilihan ada
pada masing-masing orang, apakah dia mendengarkannya atau tidak
mendengarkannya. Apabila ada orang yang menginginkan kehidupan, mencari
kehidupan suci serta kehidupan abadi, hendaklah dia mewakafkan hidupnya untuk
Allah. Setiap orang seharusnya senantiasa berpikir dan berusaha untuk mencapai
tingkatan itu, dan dapat menyatakan bahwa hidupnya, matinya, pengurbanannya,
dan salatnya semata-mata untuk Allah. Seperti Nabi Ibrahim as. ruhnya berseru,
“Aku berserah diri kepada Tuhan sarwa sekalian alam.” (Q.S. 2:131).
Selama manusia tidak “hilang” dalam Allah,
tidak “mati” dalam Allah, dia tidak dapat menemukan kehidupan baru.
Kalian yang berhubungan dengan saya, kalian
melihat bahwa saya menganggap mewakafkan hidup untuk Allah adalah tujuan utama
hidup saya. Kemudian, lihatlah dalam diri kalian sendiri! Di antara kalian,
berapa yang menyukai perbuatan untuk Allah, dan menghargai wakaf hidup untuk
Allah?
(Diterjemahkan dari: Malfuzat Ahmadiyyah, jilid 1, hlm. 115-117)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar