Senin, 06 Juni 2016

Sentuhan Rohani (5)

Mewakafkan Hidup

“Dan mengabdilah kepada Tuhan dikau, sampai apa yang meyakinkan itu datang kepada engkau.” (Q.S. Al-Hijr, 15:99).

Para mufasir (ulama ahli tafsir) berpendapat bahwa al-yaqiin (apa yang meyakinkan) berarti kematian. Apa maksud sebenarnya? Saya katakan, kematian itu maksudnya kematian secara ruhaniah, atau mewakafkan hidup di jalan Allah.
Orang beriman hendaklah tidak merasa lelah dan malas dalam beribadah hingga kehidupan palsu ini menjadi hangus, dan sebagai gantinya muncul rangkaian kehidupan baru yang abadi dan kehidupan yang memberikan ketenangan. Selagi nafsu duniawi dalam kehidupan yang sementara ini belum menjauh, belum muncul kelezatan dalam iman dan kedamaian dalam ruh, maka fahamilah bahwa itu berarti belum ada iman yang sempurna dan benar. Untuk itu Allah Ta’ala berfirman bahwa kalian hendaklah tetap terus beribadah sampai mencapai tingkatan keyakinan yang sempurna, semua tabir kegelapan hilang, kalian mengerti bahwa sekarang kalian tidak seperti dulu lagi melainkan sebagai makhluk baru. Inilah kehidupan kedua, yang para sufi menyebutnya dengan istilah baqa. Tatkala manusia mencapai tingkatan ini, maka terjadilah peniupan ruh Allah padanya. Malaikat turun padanya. Inilah rahasianya, sehubungan dengan Abu Bakar r.a. Rasulullah Muhammad saw. bersabda bahwa jika ada orang yang ingin melihat orang mati berjalan di atas bumi, maka lihatlah Abu Bakar. Derajat Abu Bakar r.a. ini bukan dari amal lahiriahnya, melainkan dari hal-hal yang ada dalam hatinya.

Ingatlah! Sehubungan dengan iman, ada rahasia di antara orang beriman dengan Allah Ta’ala, Di antara semua makhluk tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali orang beriman itu sendiri. Kadang-kadang orang yang tidak punya akses untuk ilmu Allah dan pengenalan Allah, karena ketidaktahuannya tentang hubungan seorang mukmin dengan Allah Ta’ala, maka dia merasa heran melihat sebagian keadaannya, misalnya masalah rezeki dan penghidupannya. Terkadang rasa heran ini berkembang dan mengarah pada buruk sangka padanya dan kesesatan. Hal ini disebabkan oleh pandangannya yang terbatas, dan dia tidak mengenal rahasia antara mukmin itu dengan Allah Ta’ala.  Saya ingin, akan ada rahasia antara teman-teman  kita dengan Allah Ta’ala, seperti halnya para sahabat Nabi saw. yang mulia.

Pendek kata, manusia hendaklah mewakafkan hidupnya di jalan Allah Ta’ala. Saya membaca, dalam beberapa Koran diwartakan bahwa orang Arya tertentu mewakafkan hidupnya untuk Arya Samaj, pendeta tertentu membaktikan sepanjang umurnya untuk misi (Kristen). Saya heran, mengapa orang-orang Islam tidak mewakafkan hidupnya di jalan Allah dan untuk layanan Islam? Lihatlah, pada zaman Rasulullah Muhammad saw. yang barakah! Dapat diketahui, bagaimana Rasulullah saw. dan para sahabat r.a. mewakafkan hidupnya untuk kehidupan Islam.
Ingatlah, (mewakafkan hidup di jalan Allah) ini bukanlah perdagangan yang rugi, tetapi perdagangan yang tak terbatas keuntungannya. Semoga orang-orang Islam mengetahui manfaat dan keuntungan  perdagangan ini. Orang yang mewakafkan hidupnya untuk Allah, untuk agama-Nya, apakah kehidupannya hancur? Sama sekali tidak. Dengan wakaf demi Allah itu, dia mendapat ganjaran dari Tuhannya, dan diselamatkan serta dibebaskan dari segala macam ketakutan, penderitaan dan kesedihan (Q.S. 2:112).

Saya heran, bila setiap insan secara naluriah ingin kedamaian, dan ingin selamat dari ketakutan, penderitaan dan kesedihan, lalu apa sebabnya ketika disampaikan resep yang teruji keampuhannya untuk penyakit itu, dia tidak memperhatikannya? Apakah resep wakaf demi Allah tidak terbukti ampuh sejak dahulu kala?  Apakah para sahabat Nabi Muhammad saw. yang mulia, karena wakaf itu, tidak berhak menjadi waris kehidupan suci dan kehidupan abadi? Lalu apa sebabnya orang enggan mengambil manfaat dari efek resep itu? Masalah pokoknya, karena orang tidak mengenal kebenaran ini, dan tidak mengenal kenikmatan yang diperoleh setelah pelaksanaan wakaf itu. Sebaliknya, seandainya dia merasakan kenikmatan ini sedikit saja, tentu dengan menggebu dia akan datang di medan ini.

Saya sendiri berpengalaman untuk jalan ini (wakaf demi Allah, pent.), dan hanya karena anugerah Allah, saya menikmati kemudahan dan kenikmatan ini. Saya berkeinginan, seandainya saya mati kemudian hidup lagi, kemudian mati dan kemudian hidup lagi, untuk mewakafkan hidup di jalan Allah, maka setiap kali, hasrat saya dengan kenikmatan akan bertambah.      
Akhirnya, karena saya sendiri berpengalaman, dan Allah Ta’ala menganugerahkan semangat pada saya untuk wakaf ini, maka seandainya dikatakan pada saya bahwa dalam wakaf (hidup) itu tidak ada pahala dan faedahnya, melainkan hanya akan ada penderitaan dan kesusahan,  maka saya masih tetap tidak dapat berhenti dalam pelayanan Islam. Karena itu, saya menganggap wajib untuk mewasiatkan pada jemaah saya, dan menyampaikan hal ini. Selanjutnya pilihan ada pada masing-masing orang, apakah dia mendengarkannya atau tidak mendengarkannya. Apabila ada orang yang menginginkan kehidupan, mencari kehidupan suci serta kehidupan abadi, hendaklah dia mewakafkan hidupnya untuk Allah. Setiap orang seharusnya senantiasa berpikir dan berusaha untuk mencapai tingkatan itu, dan dapat menyatakan bahwa hidupnya, matinya, pengurbanannya, dan salatnya semata-mata untuk Allah. Seperti Nabi Ibrahim as. ruhnya berseru, “Aku berserah diri kepada Tuhan sarwa sekalian alam.” (Q.S. 2:131).
Selama manusia tidak “hilang” dalam Allah, tidak “mati” dalam Allah, dia tidak dapat menemukan kehidupan baru.

Kalian yang berhubungan dengan saya, kalian melihat bahwa saya menganggap mewakafkan hidup untuk Allah adalah tujuan utama hidup saya. Kemudian, lihatlah dalam diri kalian sendiri! Di antara kalian, berapa yang menyukai perbuatan untuk Allah, dan menghargai wakaf hidup untuk Allah?


(Diterjemahkan dari: Malfuzat Ahmadiyyah, jilid 1, hlm. 115-117)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar