Senin, 06 Juni 2016

Sentuhan Rohani (3)

Mubalig (Muballigh)

Orang yang kotor (hatinya, pent.) tidak dapat mendengarkan perkataan benar. Tatkala suatu waktu disampaikan masalah pengenalan Allah (ma’rifat) dan kebijaksanaan di hadapan mereka, mereka tidak memperhatikannya, malahan  meninggalkan dengan acuh tak acuh.

Tidak ragu-ragu lagi, orang yang tulus dan berkata benar juga sedikit. Sangat sedikit jumlah orang yang mengatakan kebenaran kepada seseorang  hanya demi Allah Ta’ala. Seolah-olah tidak ada. Pada umumnya mubalig atau dai  memberikan nasehat, namun maksud dan tujuan utamanya hanya untuk mendapatkan sesuatu dari masyarakat dan mendapatkan dunia. Ketika tujuan ini berbaur dengan perkataan atau nasehatnya, maka kebenaran dan niat demi Allah tersembunyi dalam kegelapan. Kenikmatan dan harumnya pengenalan Allah (ma’rifat), yang menyentuh hati dan pikiran serta membuat wangi ruh, yang dicapai dengan mendengarkan kalam Ilahi, terkubur dalam bau busuk egoisme dan pemujaan dunia. Dalam majlis taklim  kebanyakan orang angkat bicara bahwa semua ceramah atau nasehat ini untuk mendapatkan nafkah penghidupan.

Tidak ragu-ragu lagi, kebanyakan orang telah menjadikan tablig atau dakwah, menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat (amar bi-l ma’ruuf  wa  naha ‘ani-l munkar) sebagai alat penghidupan. Tetapi tidaklah setiap orang demikian. Ada pula beberapa insan yang begitu suci hatinya, yang menyampaikan ajaran Allah dan Rasul-Nya saw. kepada umat manusia hanya karena mereka memahami bahwa mereka ditetapkan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, dan amar ma’ruf nahi munkar itu wajib. Mereka berharap, dengan cara demikian mereka akan mendapatkan perkenan Allah Ta’ala.

Kedudukan mubalig atau dai adalah kedudukan yang tinggi, kedudukan yang seakan-akan kebesaran kenabian terdapat di dalamnya, dengan syarat ada takwa. Mubalig memperoleh kesempatan perbaikan khusus untuk dirinya sendiri. Karena dalam perbuatannya di hadapan masyarakat, setidak-tidaknya dia  perlu   mempraktekkan atau mejalankan hal-hal yang dia katakan. Bagaimanapun, jika ada orang mengatakan hal baik untuk maksud dan tujuannya sendiri, maka hal itu tidak perlu ditolak. Jika dia berkata berdasarkan tujuannya sendiri, tapi apa yang dikatakannya memang hal yang baik, insan yang berhati baik perlu memperhatikan apa yang dia katakan, dan tidak perlu membahas maksud dan tujuannya. Perhatikan bicaranya, dan jangan memikirkan pembicaranya. Karena dengan demikian manusia dapat terhalang dalam menerima kebenaran, dan memelihara benih kesombongan di dalam dirinya. Jika hanya mencari kebenaran, lalu apa perlunya menghitung aib orang lain?  Mubalig menyampaikan ceramah atau nasehat untuk memenuhi tujuannya sendiri. Dari dia apa tujuan kalian? Tujuan utama kalian mencari kebenaran bukan?

Apabila kita perhatikan dengan seksama cara Rasulullah Muhammad saw. memberikan penjelasan, ternyata memberi nasehat pun ada metodenya. Seseorang datang ke tempat Rasulullah saw. dan bertanya, “Yang manakah kebaikan yang paling baik?” Beliau menjawab, “Kedermawanan.” Orang lain datang ke tempat Rasulullah saw. dan menanyakan hal yang sama. Namun dia mendapatkan jawaban yang berbeda, yaitu “Berbakti kepada ibu-bapak.” Pertanyaan sama, tetapi jawabannya berbeda. Sampai di sini kebanyakan orang tersandung (kesalahfahaman, pent.). Beberapa orang Kristen juga sangat mencela hadis-hadis seperti itu. Namun mereka tidak memperhatikan cara menjawab Rasulullah saw. yang bermanfaat dan berkah itu.
Dari jawaban Rasulullah saw. itu terkandung rahasia, orang sakit (rohani, pent.) yang datang kepada Rasulullah saw., beliau beri resep obat sesuai dengan penyakit yang diidapnya. Misalnya, orang yang biasa pelit, kebaikan yang paling baik untuknya adalah kedermawanan. Orang yang tidak berbakti kepada ibu-bapak, bahkan berlaku kasar terhadap mereka, dia membutuhkan pendidikan berbakti kepada ibu-bapak. Maka kebaikan yang paling baik untuknya adalah berbakti kepada ibu-bapak.
Seperti dokter, terlebih dahulu dia perlu memeriksa dengan cermat pasiennya, sebelum memberikan obat padanya. Begitu juga mubalig, seharusnya dia melihat dan memastikan dulu penyakit (rohani) dan kelemahan yang ada pada masyarakat, sebelum menyampaikan ceramah atau nasehat kepada mereka. Tetapi sulitnya, sedikit mubalig yang mendapatkan firasat dan wahyu Ilahi. Inilah sebabnya meski di negeri ini ada ratusan ribu mubalig berkeliling, tapi keadaan amaliah di negeri ini dari hari ke hari semakin merosot. Berbagai macam kesalahan dan kelemahan iman dan  akhlak semakin terasa pengaruhnya. Karena dari kalangan para mubalig tidak ada ikatan dengan Allah.

Saya ingin berbicara pada teman-teman saya. Atas rahmat Allah, dalam hati mereka ada rasa kehausan untuk mencari kebenaran. Tidak ada keberatan bagi mereka dalam menerima kebenaran. Walaupun mubalig dalam berbagai cara dan gaya menyampaikan pertanyaannya, seharusnya kalian tidak meninggalkan prinsip kebijaksanaan hanya karena satu sebab. Dengan mendengar pertanyaanya, lalu kamu meremehkannya, itu juga kesalahan. Apakah suatu mutiara dapat dibuang hanya karena terbungkus dalam kain lap yang kotor dan bau? Sama sekali tidak. Selain itu, jika mubalig bertanya, apakah kalian tidak tahu bahwa kalian dilarang membentaknya? Allah berfirman: “Dan terhadap orang yang bertanya, janganlah engkau bentak-bentak.” (Q.S. Adl Dluha, 93:10).


(Diterjemahkan dari: Malfuzat Ahmadiyyah, jilid 1, hlm. 119-122) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar