Mubalig (Muballigh)
Orang yang kotor (hatinya, pent.) tidak dapat
mendengarkan perkataan benar. Tatkala suatu waktu disampaikan masalah pengenalan
Allah (ma’rifat) dan kebijaksanaan di
hadapan mereka, mereka tidak memperhatikannya, malahan meninggalkan dengan acuh tak acuh.
Tidak ragu-ragu lagi, orang yang tulus dan berkata
benar juga sedikit. Sangat sedikit jumlah orang yang mengatakan kebenaran
kepada seseorang hanya demi Allah
Ta’ala. Seolah-olah tidak ada. Pada umumnya mubalig atau dai memberikan nasehat, namun maksud dan tujuan
utamanya hanya untuk mendapatkan sesuatu dari masyarakat dan mendapatkan dunia.
Ketika tujuan ini berbaur dengan perkataan atau nasehatnya, maka kebenaran dan
niat demi Allah tersembunyi dalam kegelapan. Kenikmatan dan harumnya pengenalan
Allah (ma’rifat), yang menyentuh hati
dan pikiran serta membuat wangi ruh, yang dicapai dengan mendengarkan kalam
Ilahi, terkubur dalam bau busuk egoisme dan pemujaan dunia. Dalam majlis taklim
kebanyakan orang angkat bicara bahwa
semua ceramah atau nasehat ini untuk mendapatkan nafkah penghidupan.
Tidak ragu-ragu lagi, kebanyakan orang telah
menjadikan tablig atau dakwah, menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat
(amar bi-l ma’ruuf wa naha
‘ani-l munkar) sebagai alat penghidupan. Tetapi tidaklah setiap orang demikian.
Ada pula beberapa insan yang begitu suci hatinya, yang menyampaikan ajaran
Allah dan Rasul-Nya saw. kepada umat manusia hanya karena mereka memahami bahwa
mereka ditetapkan untuk melakukan amar
ma’ruf nahi munkar, dan amar ma’ruf
nahi munkar itu wajib. Mereka berharap, dengan cara demikian mereka akan
mendapatkan perkenan Allah Ta’ala.
Kedudukan mubalig atau dai adalah kedudukan yang
tinggi, kedudukan yang seakan-akan kebesaran kenabian terdapat di dalamnya,
dengan syarat ada takwa. Mubalig memperoleh kesempatan perbaikan khusus untuk
dirinya sendiri. Karena dalam perbuatannya di hadapan masyarakat,
setidak-tidaknya dia perlu mempraktekkan
atau mejalankan hal-hal yang dia katakan. Bagaimanapun, jika ada orang
mengatakan hal baik untuk maksud dan tujuannya sendiri, maka hal itu tidak perlu
ditolak. Jika dia berkata berdasarkan tujuannya sendiri, tapi apa yang
dikatakannya memang hal yang baik, insan yang berhati baik perlu memperhatikan
apa yang dia katakan, dan tidak perlu membahas maksud dan tujuannya. Perhatikan
bicaranya, dan jangan memikirkan pembicaranya. Karena dengan demikian manusia
dapat terhalang dalam menerima kebenaran, dan memelihara benih kesombongan di
dalam dirinya. Jika hanya mencari kebenaran, lalu apa perlunya menghitung aib
orang lain? Mubalig menyampaikan ceramah
atau nasehat untuk memenuhi tujuannya sendiri. Dari dia apa tujuan kalian?
Tujuan utama kalian mencari kebenaran bukan?
Apabila kita perhatikan dengan seksama cara Rasulullah
Muhammad saw. memberikan penjelasan, ternyata memberi nasehat pun ada
metodenya. Seseorang datang ke tempat Rasulullah saw. dan bertanya, “Yang
manakah kebaikan yang paling baik?” Beliau menjawab, “Kedermawanan.” Orang lain
datang ke tempat Rasulullah saw. dan menanyakan hal yang sama. Namun dia
mendapatkan jawaban yang berbeda, yaitu “Berbakti kepada ibu-bapak.” Pertanyaan
sama, tetapi jawabannya berbeda. Sampai di sini kebanyakan orang tersandung
(kesalahfahaman, pent.). Beberapa orang Kristen juga sangat mencela hadis-hadis
seperti itu. Namun mereka tidak memperhatikan cara menjawab Rasulullah saw.
yang bermanfaat dan berkah itu.
Dari jawaban Rasulullah saw. itu terkandung rahasia,
orang sakit (rohani, pent.) yang datang kepada Rasulullah saw., beliau beri
resep obat sesuai dengan penyakit yang diidapnya. Misalnya, orang yang biasa
pelit, kebaikan yang paling baik untuknya adalah kedermawanan. Orang yang tidak
berbakti kepada ibu-bapak, bahkan berlaku kasar terhadap mereka, dia
membutuhkan pendidikan berbakti kepada ibu-bapak. Maka kebaikan yang paling
baik untuknya adalah berbakti kepada ibu-bapak.
Seperti dokter, terlebih dahulu dia perlu memeriksa
dengan cermat pasiennya, sebelum memberikan obat padanya. Begitu juga mubalig, seharusnya
dia melihat dan memastikan dulu penyakit (rohani) dan kelemahan yang ada pada
masyarakat, sebelum menyampaikan ceramah atau nasehat kepada mereka. Tetapi
sulitnya, sedikit mubalig yang mendapatkan firasat dan wahyu Ilahi. Inilah
sebabnya meski di negeri ini ada ratusan ribu mubalig berkeliling, tapi keadaan
amaliah di negeri ini dari hari ke hari semakin merosot. Berbagai macam
kesalahan dan kelemahan iman dan akhlak
semakin terasa pengaruhnya. Karena dari kalangan para mubalig tidak ada ikatan
dengan Allah.
Saya ingin berbicara pada teman-teman saya. Atas
rahmat Allah, dalam hati mereka ada rasa kehausan untuk mencari kebenaran. Tidak
ada keberatan bagi mereka dalam menerima kebenaran. Walaupun mubalig dalam
berbagai cara dan gaya menyampaikan pertanyaannya, seharusnya kalian tidak
meninggalkan prinsip kebijaksanaan hanya karena satu sebab. Dengan mendengar
pertanyaanya, lalu kamu meremehkannya, itu juga kesalahan. Apakah suatu mutiara
dapat dibuang hanya karena terbungkus dalam kain lap yang kotor dan bau? Sama
sekali tidak. Selain itu, jika mubalig bertanya, apakah kalian tidak tahu bahwa
kalian dilarang membentaknya? Allah berfirman: “Dan terhadap orang yang
bertanya, janganlah engkau bentak-bentak.” (Q.S. Adl Dluha, 93:10).
(Diterjemahkan dari: Malfuzat Ahmadiyyah, jilid 1, hlm. 119-122)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar