Tujuan Hidup
Dalam Quran, surat Al-‘Ashr (103), Allah Ta’ala
menjelaskan contoh kehidupan orang kafir dan orang beriman. Kehidupan orang
kafir seperti kehidupan binatang, yang (seolah-olah) tidak ada pekerjaan selain makan, minum, dan
mengikuti gejolak syahwat. Allah berfirman:
“Dan orang-orang kafir bersenang-senang dan makan
seperti makannya binatang ternak.” (Q.S. Muhammad, 47:12).
Jika seekor sapi masih tetap makan makanan seperti
rumput dan daun-daunan, tetapi pada waktu menarik bajak di sawah ia hanya mendekam,
apa akibatnya? Tuan tanah (majikannya) akan membawa dan menjualnya ke jagal.
Demikian pula orang yang tidak peduli atau tidak mengikuti hukum-hukum Allah
Ta’ala, dan melangsungkan kehidupannya dalam ketidakpatuhan serta kejahatan.
Allah berfirman, artinya:
“Katakanlah: Tuhanku tak mempedulikan kamu sedikit
pun, jika bukan karena doa (ibadah) kamu.” (Q.S. Al-Furqan, 25:77).
Ingatlah sungguh-sungguh! Untuk ibadah kepada Allah
Ta’ala diperlukan cinta. Cinta ada dua macam. Pertama, cinta alamiah. Kedua, cinta yang berhubungan dengan tujuan
(cinta karena ada pamrih). Macam cinta kedua ini dasar atau penyebabnya hanya beberapa hal
bersifat sementara. Jika tujuan menjadi jauh, cinta itu menjadi mati dan
menyebabkan kesedihan. Sedangkan cinta alamiah menimbulkan kesenangan yang
nyata. Manusia secara fitriah diciptakan untuk Allah. Sebagaimana difirmankan
oleh Allah, artinya:
“Dan tiada Aku menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat, 51:56).
Dari firman Ilahi ini dapat diketahui bahwa Allah
Ta’ala telah menempatkan tujuan asli kelahiran manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Namun barangsiapa
yang meninggalkan tujuan asli dan tujuan fitriahnya, kemudian mengikuti tujuan
hidup seperti binatang, hidup hanya
untuk makan, minum, tidur, dan menuruti nafsu birahinya, dia akan terjatuh jauh
dari rahmat Allah Ta’ala. Tanggung jawab Allah terputus untuknya.
Mengandalkan pada masa hidup (di dunia) yang tidak
abadi, bukanlah perbuatan orang bijaksana. Datangnya kematian bisa jadi bencana.
Manusia tidak tahu kapan waktunya. Ketika manusia tertahan dalam genggaman
kematian, kemudian siapakah yang dapat bertanggung jawab untuk kehidupannya
selain Allah Ta’ala? Jika kehidupannya untuk Allah, maka Dia akan menjaganya.
Jika manusia tidak punya kehidupan (yang begitu baik),
sehingga Allah Ta’ala pun waktu mengambil rohnya seakan-akan ada kebimbangan,
maka dia lebih buruk daripada binatang. Dari seekor kambing, banyak orang dapat
bertahan hidup, dan kulitnya juga berguna. Manusia dalam keadaan tertentu,
misalnya ketika sudah mati, dia tidak ada gunanya lagi. Tetapi orang saleh,
pengaruhnya juga bisa terjadi pada para keturunannya, dan mereka bisa mengambil
faedah darinya. Sebenarnya dia tidak mati, karena dengan kematian dia pun
diberi kehidupan baru. Daud as. mengatakan bahwa beliau dari masa kanak-kanak
hingga tua tidak pernah melihat orang-orang yang mengabdi kepada Allah dalam
keadaan hina, dan tidak melihat anak-anak mereka meminta-minta. Seolah-olah
anak-anak orang bertakwa juga menjadi tanggung jawab Allah Ta’ala. Tetapi dalam
hadis disebutkan bahwa orang zalim pada dasarnya juga menzalimi keluarganya.
Karena pengaruh buruknya juga jatuh pada mereka.
Betapa pentingnya kalian mengerti bahwa tujuan Allah
Ta’ala menciptakan kalian adalah agar kalian beribadah atau mengabdi pada-Nya.
Untuk itu jadikanlah dunia bukan sebagai tujuan utama kalian. Saya berkali-kali
menjelaskan satu hal ini, karena menurut
pendapat saya manusia datang untuk satu
hal ini, dan dari satu hal ini akan terjadi dampak yang luas. Saya tidak
mengatakan agar kalian meninggalkan urusan duniawi, berpisah dari istri,
anak-anak, pergi kemudian duduk
(tinggal) di dalam suatu hutan atau di atas gunung. Islam tidak membolehkan hal
seperti itu, dan kerahiban bukanlah kehendak Islam. Islam ingin menjadikan
manusia aktif, cerdas dan cakap. Oleh karena itu saya katakan, kerjakanlah
usaha kalian dengan sekuat tenaga. Di dalam hadis disebutkan, orang yang
mempunyai tanah, dan dia tidak menggarapnya, maka dia akan dimintai pertanggungjawaban.
Jadi jika ada orang yang memahami agar melepaskan diri dari urusan dunia, dia
melakukan kesalahan. Intinya, hendaklah kalian memperhatikan bahwa dari semua
usaha yang kalian kerjakan, tujuannya untuk mendapatkan ridha Allah Ta’ala.
Janganlah kalian mendahulukan tujuan dan nafsu kalian, keluar dari
kehendak-Nya.
Jika tujuan hidup manusia hanya menjalani kehidupan
dalam kesenangan, dan puncak semua kusuksesannya hanya pada makanan dan
minuman, pakaian, tidur dan pemenuhan syahwat, dan tidak ada sisa ruang dalam
hatinya untuk Allah Ta’ala, orang yang demikian berarti mengubah fitrah Allah.
Akibatnya, dia berangsur-angsur akan menyia-nyiakan potensi atau kekuatannya. Kita
mengambil sesuatu untuk tujuan tertentu. Jika sesuatu itu tidak digunakan, maka
ia dipastikan sia-sia dan tak berharga. Misalnya, kayu diambil untuk pembuatan
kursi atau meja. Bila kita tidak mampu menggunakannya untuk pembuatan kursi
atau meja, maka kita paling-paling akan
membuatnya menjadi kayu bakar. Demikian pula tujuan utama diciptakan manusia
adalah untuk beribadah kepada Allah. Namun bila manusia mengubah fitrahnya (yakni
hidup untuk ibadah) dengan berbagai alasan dan hubungan dari luar, berarti dia
membuat hidupnya sia-sia dan tak berharga.
(Diterjemahkan dari: Malfuzat Ahmadiyyah, jilid 1, hlm. 348-350)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar