Sabtu, 18 Juni 2016

Sentuhan Rohani (11)

Tujuan Hidup

Dalam Quran, surat Al-‘Ashr (103), Allah Ta’ala menjelaskan contoh kehidupan orang kafir dan orang beriman. Kehidupan orang kafir seperti kehidupan binatang, yang (seolah-olah)  tidak ada pekerjaan selain makan, minum, dan mengikuti gejolak syahwat. Allah berfirman:
“Dan orang-orang kafir bersenang-senang dan makan seperti makannya binatang ternak.” (Q.S. Muhammad, 47:12).
Jika seekor sapi masih tetap makan makanan seperti rumput dan daun-daunan, tetapi pada waktu menarik bajak di sawah ia hanya mendekam, apa akibatnya? Tuan tanah (majikannya) akan membawa dan menjualnya ke jagal. Demikian pula orang yang tidak peduli atau tidak mengikuti hukum-hukum Allah Ta’ala, dan melangsungkan kehidupannya dalam ketidakpatuhan serta kejahatan. Allah berfirman, artinya:
“Katakanlah: Tuhanku tak mempedulikan kamu sedikit pun, jika bukan karena doa (ibadah) kamu.” (Q.S. Al-Furqan, 25:77).

Ingatlah sungguh-sungguh! Untuk ibadah kepada Allah Ta’ala diperlukan cinta. Cinta ada dua macam. Pertama, cinta alamiah.  Kedua, cinta yang berhubungan dengan tujuan (cinta karena ada pamrih). Macam cinta kedua ini  dasar atau penyebabnya hanya beberapa hal bersifat sementara. Jika tujuan menjadi jauh, cinta itu menjadi mati dan menyebabkan kesedihan. Sedangkan cinta alamiah menimbulkan kesenangan yang nyata. Manusia secara fitriah diciptakan untuk Allah. Sebagaimana difirmankan oleh Allah, artinya:
“Dan tiada Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat, 51:56).
Dari firman Ilahi ini dapat diketahui bahwa Allah Ta’ala telah menempatkan tujuan asli kelahiran manusia adalah untuk  beribadah kepada Allah Ta’ala. Namun barangsiapa yang meninggalkan tujuan asli dan tujuan fitriahnya, kemudian mengikuti tujuan hidup  seperti binatang, hidup hanya untuk makan, minum, tidur, dan menuruti nafsu birahinya, dia akan terjatuh jauh dari rahmat Allah Ta’ala. Tanggung jawab Allah terputus untuknya.

Mengandalkan pada masa hidup (di dunia) yang tidak abadi, bukanlah perbuatan orang bijaksana. Datangnya kematian bisa jadi bencana. Manusia tidak tahu kapan waktunya. Ketika manusia tertahan dalam genggaman kematian, kemudian siapakah yang dapat bertanggung jawab untuk kehidupannya selain Allah Ta’ala? Jika kehidupannya untuk Allah, maka Dia akan menjaganya.

Jika manusia tidak punya kehidupan (yang begitu baik), sehingga Allah Ta’ala pun waktu mengambil rohnya seakan-akan ada kebimbangan, maka dia lebih buruk daripada binatang. Dari seekor kambing, banyak orang dapat bertahan hidup, dan kulitnya juga berguna. Manusia dalam keadaan tertentu, misalnya ketika sudah mati, dia tidak ada gunanya lagi. Tetapi orang saleh, pengaruhnya juga bisa terjadi pada para keturunannya, dan mereka bisa mengambil faedah darinya. Sebenarnya dia tidak mati, karena dengan kematian dia pun diberi kehidupan baru. Daud as. mengatakan bahwa beliau dari masa kanak-kanak hingga tua tidak pernah melihat orang-orang yang mengabdi kepada Allah dalam keadaan hina, dan tidak melihat anak-anak mereka meminta-minta. Seolah-olah anak-anak orang bertakwa juga menjadi tanggung jawab Allah Ta’ala. Tetapi dalam hadis disebutkan bahwa orang zalim pada dasarnya juga menzalimi keluarganya. Karena pengaruh buruknya juga jatuh pada mereka.

Betapa pentingnya kalian mengerti bahwa tujuan Allah Ta’ala menciptakan kalian adalah agar kalian beribadah atau mengabdi pada-Nya. Untuk itu jadikanlah dunia bukan sebagai tujuan utama kalian. Saya berkali-kali menjelaskan satu hal  ini, karena menurut pendapat saya manusia datang untuk  satu hal ini, dan dari satu hal ini akan terjadi dampak yang luas. Saya tidak mengatakan agar kalian meninggalkan urusan duniawi, berpisah dari istri, anak-anak,  pergi kemudian duduk (tinggal) di dalam suatu hutan atau di atas gunung. Islam tidak membolehkan hal seperti itu, dan kerahiban bukanlah kehendak Islam. Islam ingin menjadikan manusia aktif, cerdas dan cakap. Oleh karena itu saya katakan, kerjakanlah usaha kalian dengan sekuat tenaga. Di dalam hadis disebutkan, orang yang mempunyai tanah, dan dia tidak menggarapnya, maka dia akan dimintai pertanggungjawaban. Jadi jika ada orang yang memahami agar melepaskan diri dari urusan dunia, dia melakukan kesalahan. Intinya, hendaklah kalian memperhatikan bahwa dari semua usaha yang kalian kerjakan, tujuannya untuk mendapatkan ridha Allah Ta’ala. Janganlah kalian mendahulukan tujuan dan nafsu kalian, keluar dari kehendak-Nya.

Jika tujuan hidup manusia hanya menjalani kehidupan dalam kesenangan, dan puncak semua kusuksesannya hanya pada makanan dan minuman, pakaian, tidur dan pemenuhan syahwat, dan tidak ada sisa ruang dalam hatinya untuk Allah Ta’ala, orang yang demikian berarti mengubah fitrah Allah. Akibatnya, dia berangsur-angsur akan  menyia-nyiakan potensi atau kekuatannya. Kita mengambil sesuatu untuk tujuan tertentu. Jika sesuatu itu tidak digunakan, maka ia dipastikan sia-sia dan tak berharga. Misalnya, kayu diambil untuk pembuatan kursi atau meja. Bila kita tidak mampu menggunakannya untuk pembuatan kursi atau meja, maka kita paling-paling  akan membuatnya menjadi kayu bakar. Demikian pula tujuan utama diciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Namun bila manusia mengubah fitrahnya (yakni hidup untuk ibadah) dengan berbagai alasan dan hubungan dari luar, berarti  dia  membuat hidupnya sia-sia dan tak berharga.


(Diterjemahkan dari: Malfuzat Ahmadiyyah, jilid 1, hlm. 348-350)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar