Falsafah Doa
Perlu diingat, ada dua macam rahmat atau karunia (rahm); pertama disebut rahmaniyah, dan kedua disebut rahimiyah. Rahmaniyah adalah karunia besar yang dimulai sejak sebelum kita
berada. Misalnya Allah Ta’ala telah menciptakan bumi, langit, bulan, matahari,
serta benda-benda bumi dan langit lainnya, sebelum keberadaan kita, yang
semuanya berguna dan akan berguna bagi kita. Selain itu, hewan-hewan juga
mengambil manfaat dari benda-benda itu. Namun hewan-hewan itu sendiri juga
berguna bagi manusia. Jadi, seakan-akan tetap
manusialah yang mengambil manfaat dari semua itu secara keseluruhan. Lihatlah dalam hal-hal jasmaniah. Manusia makan
makanan yang bermutu tinggi, daging yang baik untuk manusia, dan
tulang-tulangnya untuk anjing. Secara jasmaniah, sampai batas-batas tertentu,
hewan pun merasakan pengalaman yang sama dengan manusia. Namun dalam kenikmatan
ruhaniah, hewan tidak merasakan hal yang sama dengan manusia.
Pendek kata, inilah dua macam rahmat. Pertama rahmat
yang diberikan sejak sebelum keberadaan kita. Kedua rahmat yang diterima
setelah adanya doa, dan dibutuhkan
tindakan atau kerja untuk mendapatkannya.
Hukum alam selalu ada hubungan dengan doa. Orang yang
terkesan dengan alam sekarang ini, yang tidak tahu dan tidak kenal ilmu
ketuhanan, dan semua usahanya hanya meniru cara kehidupan sosial orang Eropa
menganggap bahwa doa itu bid’ah. Oleh karena itu, perlu dibahas secara singkat
mengenai doa.
Lihatlah! Seorang bayi ketika gelisah karena lapar,
dia menangis dan menjerit untuk mendapatkan susu. Kemudian dalam payudara ibu,
susu bergolak dan keluar. Padahal bayi itu tidak tahu apa doa itu. Apa sebabnya
tangisan dan jeritan itu membawa daya tarik pada susu? Ini satu perkara yang
umumnya setiap orang mengalaminya. Kadang-kadang diketahui bahwa ibu tidak
merasakan ada susu dalam payudaranya. Seringkali memang tidak ada.
Bagaimanapun, setelah jeritan bayi yang menyedihkan sampai di telinga, maka susu
segera keluar. Rupanya ada hubungan antara
jeritan bayi dengan ketertarikan susu. Sungguh saya katakan, apabila jeritan
kita di hadapan Allah Ta’ala begitu dahsyat, maka ia akan membuka rahmat Allah
dan menariknya. Saya mengatakan berdasarkan pengalaman saya. Saya merasakan
rahmat Allah yang tercurah pada saya dalam bentuk terkabulnya doa. Ya, ahli
filsafat yang berpikiran kabur zaman sekarang ini tidak dapat merasakan dan
tidak dapat melihatnya. Kebenaran ini tidak dapat lepas dari dunia. Khususnya
dalam keadaan ketika saya siap setiap waktu untuk menunjukkan contoh
terkabulnya doa.
Singkatnya, dalam hukum alam terdapat contoh terkabulnya
doa. Pada setiap zaman Allah Ta’ala memberikan contoh yang hidup. Oleh karena
itu, Allah mengajarkan doa “Ihdina-sh
shirootho-l mustaqiim. Shirootholladziina an’amta ‘alaihim.” Artinya: Pimpinlah
kami pada jalan yang benar. Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.
(Q.S. Al-Fatihah, 1:5-6).
Ini kehendak dan peraturan Allah Ta’ala. Tidak ada
yang bisa mengubahnya. Dari doa ihdina-sh
shirootho-l mustaqiim diketahui, hendaklah kita menyempurnakan amal
perbuatan kita. Dengan memperhatikan kata itu (pimpinlah kami pada jalan yang
benar), dapat diketahui bahwa dengan
isyarat teks Quran itu jelas menunjukkan
perintah untuk berdoa dan ajaran untuk mohon petunjuk jalan yang benar. Namun
pada awalnya dinyatakan “Iyyaaka na’budu
wa iyyaaka nasta’iin” (Kepada Engkau kami mengabdi, dan kepada Engkau kami
mohon pertolongan), pernyataan ini seharusnya difungsikan atau dilaksanakan.
Yakni, untuk mencapai jalan yang benar (shirootho-l
mustaqiim), hendaklah menggunakan kekuatan sepenuhnya dan mohon pertolongan
Ilahi. Jadi harus ada pengikutsertaan sarana-sarana lahiriah. Siapa yang
meninggalkannya, berarti kufrun ni’mah
(mengingkari nikmat). Lihatlah lidah ini, yang Allah Ta’ala telah
menciptakannya! Padanya terdapat pembuluh darah dan syaraf. Jika tidak ada unsur
itu, maka kita tidak bisa berbicara. Lidah atau lisan yang demikian dianugerahkan
untuk berdoa, yang dapat mengungkapkan kehendak hati. Bila kita tidak pernah
menggunakan lisan untuk berdoa, maka sangat disayangkan. Banyak sekali
penyakit, jika ia menimpa lidah, maka seketika lidah itu tidak dapat berfungsi
dengan baik. Begitu pula dalam hati tersimpan keadaan khusyuk dan khuduk dan
terdapat daya pikir. Maka ingatlah, apabila kita menghentikan dan meningggalkan
semua daya dan kekuatan itu, kemudian berdoa, maka doa ini tidak bermanfaat dan
tidak efektif sama sekali. Karena bila dari pemberian Allah yang pertama
(sebelumnya) tidak dimanfaatkan sedikit pun, maka dari yang kedua tidak akan
membawa manfaat. Oleh karena itu, sebelum “Ihdina-sh
shirootho-l mustaqiim” (Pimpinlah kami pada jalan yang benar) terlebih
dahulu dinyatakan “Iyyaaka na’budu”
(Kepada Engkau kami mengabdi), yakni kami tidak menyia-nyiakan pemberian dan
kekuatan dari-Mu yang pertama. Ingatlah! Kekhasan rahmaniyah adalah ia disiapkan sebelum penggunaan rahmat dari rahimiyah.
Firman Allah yang berbunyi “Ud’uunii
astajib lakum” (Berdoalah kepada-Ku, Aku akan mengijabahi bagimu) (Q.S.
Al-Mu’min, 40:60), bukanlah hanya kata-kata kosong, tetapi itu perlu untuk
kehormatan manusia. Memohon adalah kekhasan manusia, dan mengijabahi adalah
kekhasan Allah, jika tidak, maka hal itu tidak adil. Doa berkhasiat bisa
memberikan rasa senang. Sayang sekali, dengan kalimat seperti apa saya bisa
menjelaskan kepada dunia kenikmatan dan kegembiraan itu? Hal ini akan diketahui
dengan merasakannya. Pendek kata, di antara hal-hal penting untuk doa, adalah
kita hendaklah mewujudkan iman dan amal saleh. Karena orang yang tidak
memperbaiki imannya dan tidak melakukan amal saleh kemudian berdoa, dia
seakan-akan menguji Allah Ta’ala.
(Diterjemahkan dari: Malfuzat Ahmadiyyah, jilid 1, hlm. 361-363)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar