Sabtu, 18 Juni 2016

Sentuhan Rohani (10)

Falsafah Doa

Perlu diingat, ada dua macam rahmat atau karunia (rahm); pertama disebut rahmaniyah, dan kedua disebut rahimiyah. Rahmaniyah adalah karunia besar yang dimulai sejak sebelum kita berada. Misalnya Allah Ta’ala telah menciptakan bumi, langit, bulan, matahari, serta benda-benda bumi dan langit lainnya, sebelum keberadaan kita, yang semuanya berguna dan akan berguna bagi kita. Selain itu, hewan-hewan juga mengambil manfaat dari benda-benda itu. Namun hewan-hewan itu sendiri juga berguna bagi manusia. Jadi, seakan-akan tetap  manusialah yang mengambil manfaat dari semua itu secara keseluruhan. Lihatlah  dalam hal-hal jasmaniah. Manusia makan makanan yang bermutu tinggi, daging yang baik untuk manusia, dan tulang-tulangnya untuk anjing. Secara jasmaniah, sampai batas-batas tertentu, hewan pun merasakan pengalaman yang sama dengan manusia. Namun dalam kenikmatan ruhaniah, hewan tidak merasakan hal yang sama dengan manusia.
Pendek kata, inilah dua macam rahmat. Pertama rahmat yang diberikan sejak sebelum keberadaan kita. Kedua rahmat yang diterima setelah adanya doa, dan dibutuhkan  tindakan atau kerja untuk mendapatkannya.

Hukum alam selalu ada hubungan dengan doa. Orang yang terkesan dengan alam sekarang ini, yang tidak tahu dan tidak kenal ilmu ketuhanan, dan semua usahanya hanya meniru cara kehidupan sosial orang Eropa menganggap bahwa doa itu bid’ah. Oleh karena itu, perlu dibahas secara singkat mengenai doa.
Lihatlah! Seorang bayi ketika gelisah karena lapar, dia menangis dan menjerit untuk mendapatkan susu. Kemudian dalam payudara ibu, susu bergolak dan keluar. Padahal bayi itu tidak tahu apa doa itu. Apa sebabnya tangisan dan jeritan itu membawa daya tarik pada susu? Ini satu perkara yang umumnya setiap orang mengalaminya. Kadang-kadang diketahui bahwa ibu tidak merasakan ada susu dalam payudaranya. Seringkali memang tidak ada. Bagaimanapun, setelah jeritan bayi yang menyedihkan sampai di telinga, maka susu segera keluar. Rupanya ada hubungan  antara jeritan bayi dengan ketertarikan susu. Sungguh saya katakan, apabila jeritan kita di hadapan Allah Ta’ala begitu dahsyat, maka ia akan membuka rahmat Allah dan menariknya. Saya mengatakan berdasarkan pengalaman saya. Saya merasakan rahmat Allah yang tercurah pada saya dalam bentuk terkabulnya doa. Ya, ahli filsafat yang berpikiran kabur zaman sekarang ini tidak dapat merasakan dan tidak dapat melihatnya. Kebenaran ini tidak dapat lepas dari dunia. Khususnya dalam keadaan ketika saya siap setiap waktu untuk menunjukkan contoh terkabulnya doa.

Singkatnya, dalam hukum alam terdapat contoh terkabulnya doa. Pada setiap zaman Allah Ta’ala memberikan contoh yang hidup. Oleh karena itu, Allah mengajarkan doa “Ihdina-sh shirootho-l mustaqiim. Shirootholladziina an’amta ‘alaihim.” Artinya: Pimpinlah kami pada jalan yang benar. Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat. (Q.S. Al-Fatihah, 1:5-6).  
Ini kehendak dan peraturan Allah Ta’ala. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Dari doa ihdina-sh shirootho-l mustaqiim diketahui, hendaklah kita menyempurnakan amal perbuatan kita. Dengan memperhatikan kata itu (pimpinlah kami pada jalan yang benar), dapat diketahui bahwa  dengan isyarat teks Quran itu jelas menunjukkan  perintah untuk berdoa dan ajaran untuk mohon petunjuk jalan yang benar. Namun pada awalnya dinyatakan “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin” (Kepada Engkau kami mengabdi, dan kepada Engkau kami mohon pertolongan), pernyataan ini seharusnya difungsikan atau dilaksanakan. Yakni, untuk mencapai jalan yang benar (shirootho-l mustaqiim), hendaklah menggunakan kekuatan sepenuhnya dan mohon pertolongan Ilahi. Jadi harus ada pengikutsertaan sarana-sarana lahiriah. Siapa yang meninggalkannya, berarti kufrun ni’mah (mengingkari nikmat). Lihatlah lidah ini, yang Allah Ta’ala telah menciptakannya! Padanya terdapat pembuluh darah dan syaraf. Jika tidak ada unsur itu, maka kita tidak bisa berbicara. Lidah atau lisan yang demikian dianugerahkan untuk berdoa, yang dapat mengungkapkan kehendak hati. Bila kita tidak pernah menggunakan lisan untuk berdoa, maka sangat disayangkan. Banyak sekali penyakit, jika ia menimpa lidah, maka seketika lidah itu tidak dapat berfungsi dengan baik. Begitu pula dalam hati tersimpan keadaan khusyuk dan khuduk dan terdapat daya pikir. Maka ingatlah, apabila kita menghentikan dan meningggalkan semua daya dan kekuatan itu, kemudian berdoa, maka doa ini tidak bermanfaat dan tidak efektif sama sekali. Karena bila dari pemberian Allah yang pertama (sebelumnya) tidak dimanfaatkan sedikit pun, maka dari yang kedua tidak akan membawa manfaat. Oleh karena itu, sebelum “Ihdina-sh shirootho-l mustaqiim” (Pimpinlah kami pada jalan yang benar) terlebih dahulu dinyatakan “Iyyaaka na’budu” (Kepada Engkau kami mengabdi), yakni kami tidak menyia-nyiakan pemberian dan kekuatan dari-Mu yang pertama. Ingatlah! Kekhasan rahmaniyah adalah ia disiapkan sebelum penggunaan rahmat  dari rahimiyah. Firman Allah yang berbunyi “Ud’uunii astajib lakum” (Berdoalah kepada-Ku, Aku akan mengijabahi bagimu) (Q.S. Al-Mu’min, 40:60), bukanlah hanya kata-kata kosong, tetapi itu perlu untuk kehormatan manusia. Memohon adalah kekhasan manusia, dan mengijabahi adalah kekhasan Allah, jika tidak, maka hal itu tidak adil. Doa berkhasiat bisa memberikan rasa senang. Sayang sekali, dengan kalimat seperti apa saya bisa menjelaskan kepada dunia kenikmatan dan kegembiraan itu? Hal ini akan diketahui dengan merasakannya. Pendek kata, di antara hal-hal penting untuk doa, adalah kita hendaklah mewujudkan iman dan amal saleh. Karena orang yang tidak memperbaiki imannya dan tidak melakukan amal saleh kemudian berdoa, dia seakan-akan menguji Allah Ta’ala.     


(Diterjemahkan dari: Malfuzat Ahmadiyyah, jilid 1, hlm. 361-363)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar