Hendaklah diingat juga, kekuatan Ruhul Quddus (Roh Suci) lahir sebagai hasil dari pertemuan dan penyatuan kedua cinta (cinta Ilahi dan cinta manusia) di dalam hati manusia, dengan pantulan cahaya Jibril. Orang yang menerima kekuatan Ruhul Quddus, keadaannya tidak mesti setiap saat mendengarkan kalam suci Ilahi atau mengalami kasyaf (melihat sesuatu dengan indera penglihatan ruhani dalam keadaan jaga).
Penerimaan kekuatan Ruhul Quddus hanyalah sebagai sarana yang dekat untuk memperoleh cahaya samawi (cahaya Ilahi); atau disebut juga cahaya ruhani bagi mata ruhani untuk bisa melihat, atau udara ruhani untuk mengantarkan suara dari Allah ke telinga ruhani.
Jelas, mata tidak bisa melihat apa pun hanya dengan cahaya, kecuali ada benda atau obyeknya. Udara belaka tidak bisa menyampaikan suara berita ke telinga seseorang, kecuali ada seseorang yang berbicara.
Jadi cahaya ruhaniah atau udara ruhaniah ini diberikan hanya sebagai bantuan Ilahi, seperti telah ditetapkan cahaya matahari dan udara sebagai sarana bagi mata dan telinga jasmaniah untuk bisa melihat dan mendengar.
Ketika Allah Ta'ala ingin menyampaikan firman-Nya ke hati penerima ilham atau wahyu (mulham), maka cahaya malaikat Jibril memperoleh kekuatan wahyu yang tampil dalam bentuk gelombang cahaya, gelombang udara atau gelombang panas yang mengaktifkan kekuatan bicara penerima wahyu. Melalui transmisi gelombang itu firman Ilahi langsung muncul dalam bentuk tertulis di hadapan penerima wahyu, atau penerima wahyu mendengar firman Ilahi, atau lidahnya melafalkan firman Ilahi itu.
Manusia dikaruniai indera ruhani dan cahaya ruhani sebelum menjadi penerima wahyu Ilahi. Kedua kekuatan ini diberikan untuk membangun kemampuan dapat menerima wahyu Ilahi, sebelum dia benar-benar mengalaminya. Karena jika wahyu Ilahi diturunkan kepada manusia dalam keadaan ketika indera ruhaninya tidak berfungsi atau cahaya Ruhul Quddus tidak mampu menjangkau atau menerangi mata hati (mata ruhani), maka dalam keadaan seperti itu manusia tidak mungkin bisa melihat dan memahami wahyu Ilahi.
Dengan fakta-fakta yang meyakinkan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sehubungan dengan wahyu, Jibril mempunyai tiga fungsi.
Pertama, ketika nutfah masuk dalam rahim untuk menjadi embrio manusia, Allah Ta'ala dengan sifat Maha Pemurah-Nya ingin menanamkan 'fitrah mampu menerima wahyu' padanya. Maka Dia membuat cahaya Jibril memancar pada manusia ketika masih dalam keadaan embrio. Kemudian fitrah manusia itu dengan berkah Allah memperoleh indera ruhani dan kemampuan untuk menerima wahyu Ilahi.
Kedua, ketika cinta hamba (manusia) jatuh di bawah bayang-bayang cinta Allah Ta'ala, disebabkan gerakan dukungan Allah, maka dalam cahaya Jibril pun timbul gerakan, dan cahaya Jibril itu memancar ke hati kekasih sejati Allah, yakni pantulan cahaya Jibril itu jatuh di hati kekasih sejati Allah, dan gambar (bayangan) Jibril muncul di dalam jiwa yang berfungsi seperti fungsi cahaya, udara, atau panas yang membantu indera jasmaniah manusia. Cahaya malaikat Jibril ini tetap berada di dalam jiwa manusia, sebagai kekuatan untuk menerima wahyu Ilahi. Kekuatan itu di satu sisi tenggelam dalam cahaya Jibril dan di sisi lain masuk di dalam hati (jiwa) manusia, penerima wahyu. Kekuatan itu dengan kata lain dapat disebut Ruhul Quddus atau gambar Ruhul Quddus.
Ketiga, ketika Allah Ta'ala memutuskan untuk mengungkapkan firman-Nya, maka Jibril bertindak seperti gelombang udara yang menyampaikan firman-Nya ke telinga jiwa nanusia; atau ia bertindak seperti cahaya yang menerangi firman Ilahi sehingga dapat dilihat oleh mata jiwa manusia; atau ia bertindak seperti panas perangsang yang menggerakkan lisan untuk mengucapkan wahyu atau firman Ilahi.
(Tauzih-i Maram, hlm. 36-37).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar