Selasa, 09 November 2021

Tobat dan Istighfar

 


Manusia sangat lemah dalam fitrahnya. Tapi banyak sekali beban hukum Allah Ta'ala yang diletakkan di pundaknya. Sebab itu, sudah menjadi fitrahnya bila dia mungkin bisa gagal dalam melaksanakan dan mematuhi sebagian hukum, karena kelemahannya.

Terkadang beberapa keinginan nafsu amarah mengalahkannya.

Karena kelemahan fitrahnya, maka manusia memiliki hak, ketika terpeleset dalam perbuatan salah dan dosa, dia bisa bertobat dan beristighfar (mohon pengampunan). Apabila manusia bertobat dan beristighfar, maka dengan rahmat-Nya Allah menyelamatkannya dari kebinasaan. Pasti, seandainya Allah bukan penerima tobat, maka beban hukum Allah yang banyak sekali itu tidak akan pernah diberikan pada manusia.


Tanpa ada keraguan, terbuktilah bahwa Allah adalah Penerima tobat ( _At-Tawwaab_) dan Pengampun dosa ( _Al-Ghofuur_).

Tobat berarti pengakuan seseorang untuk meninggalkan kejahatan, dan penegasan bahwa sesudah itu seandainya dia dilemparkan ke dalam api sekali pun, dia tidak akan pernah melakukan lagi kejahatan. Tatkala manusia dengan tulus dan tekad yang kuat kembali kepada Allah Ta'ala (tobat), maka Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih mengampuni dosanya dan membatalkan hukuman atau siksaannya. 

Suka menerima tobat dan menyelamatkan dari kehancuran merupakan salah satu sifat utama Allah.


Jika manusia tidak ingin bertobat dan tidak punya harapan untuk diterima tobatnya, maka dia tidak akan berhenti dari perbuatan dosa.

Agama Kristen juga mengakui tentang  penerimaan pertobatan. Tetapi dengan syarat yang menyatakan tobat seorang Kristiani. Namun dalam Islam tidak ada syarat agama tertentu untuk tobat. Dengan mengikuti agama masing-masing tobat seseorang bisa diterima. Dosa yang tersisa hanyalah dosa orang yang mengingkari Kitab Allah dan Utusan Allah.

Sama sekali tidak mungkin manusia bisa menemukan keselamatan hanya dengan perbuatannya. Sebaliknya, termasuk kemurahan Allah bahwa Dia menerima tobat seseorang. Dengan karunia-Nya Allah memberi seseorang kekuatan untuk tobat, sehingga dia terlindungi dari dosa.

(Chasma-i Ma'rifat, hlm. 181-182).


Ingatlah, menolak tobat dan pengampunan hakikatnya menutup pintu kemajuan manusia. Karena jelas bagi setiap orang bahwa manusia sempurna tidak dengan sendirinya, tetapi membutuhkan penyempurnaan.

Seperti manusia dalam keadaan lahiriahnya, dia lahir dan secara bertahap memperluas pengetahuannya. Bukan lahir sudah menjadi orang terpelajar. Sama halnya, saat manusia lahir dan memperoleh kecerdasan, keadaan akhlaknya sangat rendah. Karena itu ketika seseorang memerhatikan keadaan anak-anak, dengan gamblang dia akan mengerti bahwa kebanyakan anak mempunyai sifat serakah dan iri hati. Sehingga saat ada sengketa sedikit saja mereka cenderung memukul anak lainnya. Mereka sering berbohong, menunjukkan kebiasaan melecehkan dan mencaci maki anak-anak lain. Beberapa anak memiliki kebiasaan mencuri, bergosip, dengki dan kikir. Kemudian setelah mereka memasuki masa muda, ketika bergolak semangat jiwa muda mereka, nafsu amarah menunggangi mereka. Sering kali terungkap perbuatan keji mereka, yang jelas tergolong perbuatan dosa.


Singkatnya, bagi kebanyakan manusia, pada awalnya mereka mengalami kehidupan kotor. Kemudian ketika manusia yang beruntung keluar dari banjir bandang kehidupan awal, dia lalu kembali kepada Tuhannya, melakukan pertobatan sejati, berpaling dari hal-hal yang tidak layak dilakukan, dan kembali memikirkan untuk penyucian "pakaian fitrahnya".

Inilah umumnya riwayat hidup manusia yang dialami oleh umat manusia.

Jadi jelas, seandainya benar tidak ada penerimaan tobat, berarti tidak ada keinginan Allah untuk menyelamatkan manusia.

(Chasma-i Ma'rifat, hlm. 184).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar