Rabu, 17 November 2021

Orang Tulus

 


Tingkat pertama ketulusan atau kebenaran (sidq) yang dicapai para wali besar adalah, keengganan untuk urusan duniawi dan ketidaksukaan naluriah (otomatis) terhadap setiap hal yang tak ada gunanya.

Setelah kebiasaan ini mapan, tercapailah tingkat kedua ketulusan, yang bisa disebut semangat, kegairahan dan kembali kepada Allah.

Setelah keadaan atau kebiasaan ini benar-benar mapan, terwujudlah tingkat ketiga ketulusan, yang bisa disebut perubahan terbesar, pemutusan total, cinta pribadi dan tingkat fana fillah (peleburan diri  dalam Allah).


Setelah kebiasaan ini terbentuk, jiwa kebenaran menembus manusia, semua kebenaran murni dan masalah pengetahuan tingkat tinggi terungkap untuknya. Pengetahuan Quran yang paling dalam dan mendalam serta pokok-pokok syariat muncul dalam hatinya dan keluar dari bibirnya. Rahasia dan seluk beluk agama seperti itu diungkapkan atau dibukakan kepadanya, yang tidak dapat dicapai oleh akal penganut pengetahuan konvensional. Hal ini disebabkan dia diilhami oleh Allah, dan Ruhul Quddus (malaikat Jibril) berbicara dengannya. Semua kecenderungan pada kebohongan dihilangkan dari dalam dirinya, karena dia mendengar dari ruh (malaikat), berbicara sesuai dengan yang didengarnya, dan dengan ruh dia memengaruhi orang lain.


Dalam keadaan ini dia disebut orang tulus (shiddiq), karena kegelapan kebohongan sepenuhnya terhapus dari dalam dirinya, dan digantikan oleh cahaya kebenaran dan kesucian. 

Pada tahap ini, manifestasi kebenaran dan pengetahuan tingkat tinggi keluar lewat lisannya sebagai tanda baginya. Ajarannya yang suci yang difermentasi dengan cahaya kebenaran mencengangkan dunia. Pengetahuan sucinya yang berasal dari sumber fana fillah (peleburan diri dalam Allah) dan pengetahuan kebenaran, menakjubkan semua orang. Keunggulan semacam ini disebut keunggulan ketulusan (shiddiqiyyat).


Hendaklah diingat bahwa orang tulus (shiddiq) adalah orang yang memiliki pengetahuan yang lengkap tentang kebenaran (dari Allah) dan dengan sendirinya bertindak berdasarkan pengetahuan itu.

Misalnya, dia mengetahui makna sebenarnya (hakikat) hal-hal seperti: Keesaan Allah, ketaatan kepada Allah, cinta Allah, capaian bebas dari syirik, hakikat ibadah, hakikat keikhlasan, hakikat tobat; dan inti akhlak utama seperti kesabaran, rasa tawakal, kejujuran, kesetiaan, pengampunan, rasa malu, kerendahan hati, sifat dapat dipercaya, pencegahan diri dari kejahatan dsb. Selain memiliki pengetahuan-pengetahuan ini, dia juga berdiri kokoh dalam semua kebajikan ini.

(Tiryaqul Qulub, hlm. 247-249).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar