Sabtu, 18 September 2021

Wahyu Fenomena Universal

 


Perlu dihilangkan kesalahfahaman dan keraguan orang-orang yang mempertanyakan, apa keunggulan para nabi dan wali yang menerima ilham (wahyu) dan penyingkapan perkara gaib? Sebab bila kepada para nabi dan wali dibukakan perkara gaib, kepada manusia biasa pun kadang-kadang juga dibukakan perkara gaib. Orang-orang jahat pun bisa mengalami mimpi yang benar, bahkan beberapa orang yang sangat nakal bisa memberitahukan perkara gaib dan kemudian terungkap, menjadi kenyataan.


Kemudian muncul pertanyaan, jika orang-orang yang berkelakuan buruk mempunyai pengalaman yang sama dengan pengalaman para nabi atau orang-orang khusus, lalu apa keunggulan para nabi dan wali?

Masalah pokok yang dikemukakan dalam pertanyaan itu benar. Empat puluh enam bagian cahaya malaikat Jibril tersebar di seluruh alam semesta dan semua manusia, termasuk orang-orang fasik dan pendosa berada di bawah pengaruh cahaya malaikat itu. Dalam pengalaman, kadang-kadang seorang wanita pendosa yang berasal dari kelompok pelacur yang selama masa mudanya dihabiskan untuk perbuatan dosa, bisa mengalami mimpi yang benar (mimpi yang menjadi kenyataan).

Hendaklah diingat, memang begitulah semestinya. Karena cahaya Jibril itu seperti cahaya matahari yang menyebar ke seluruh bagian dunia yang berpenghuni dan memengaruhi setiap orang sesuai dengan kapasitas atau kemampuannya masing-masing. Tidak ada jiwa manusia di dunia dalam keadaan gelap sama sekali. Cahaya malaikat Jibril tentu memengaruhi semua anak Adam (manusia), bahkan orang yang gila sekalipun. Pada kenyataannya, orang gila terkadang dalam kesendiriannya berada di bawah pengaruh langsung cahaya malaikat Jibril. Cahaya malaikat itu turun pada mata batinnya, dengannya dia melihat kekuatan Tuhan yang tersembunyi.


Mimpi yang benar dan pengungkapan perkara gaib yang dialami manusia biasa, sama sekali tidak menimbulkan kerugian pada status kenabian dan kewalian, serta tidak mengurangi sedikit pun kemuliaan para nabi dan wali. 

Tidak ada ketidakjelasan atau kerumitan dalam masalah ini, karena antara keduanya ( manusia biasa dengan nabi/wali) ada perbedaan yang jelas, sehingga setiap orang dengan akal sehat bisa memahaminya.

Mimpi dan pengungkapan perkara gaib yang dialami manusia biasa sungguh tidak sama dengan yang dialami manusia pilihan Allah, dalam kualitas, kuantitas dan keajekannya. Manusia pilihan Allah menerima kenikmatan gaib (pengetahuan tentang hal-hal yang tersembunyi) sebagai karunia khusus dari Allah.


Kenikmatan gaib yang diberikan kepada dunia pada umumnya, hanyalah seperti satu dirham yang diberikan kepada pengemis dari kekayaan raja. Jelas, dengan pemberian sederhana itu tidak akan hilang kemuliaan serta kewibawaan raja, dan tidak akan meningkat status pengemis itu.

Contoh yang serupa, seperti kunang-kunang, serangga yang bersinar dalam kegelapan. Ia menunjukkan fungsi yang sama dengan fungsi matahari (yakni menerangi, pent.), meski dengan cara yang sangat sederhana. Dengan kunang-kunang memperlihatkan fungsi yang serupa dengan fungsi matahari, sama sekali tidak akan mengurangi derajat pentingnya matahari.


Hendaklah dipahami bahwa semua keunggulan manusia terwujud berdasarkan kualitas dan kuantitas kemampuan potensialnya.

Suatu kekeliruan, bila seseorang yang mengenal huruf alfabet dianggap setara dengan orang terpelajar; atau seseorang yang dengan tidak sengaja menulis syair disebut sebagai penyair.


Mengenai pertanyaan, mengapa Allah Ta'ala membolehkan orang jahat untuk memilki bagian pengalaman orang saleh, dan mengapa orang berdosa dikaruniai kekuatan yang melekat untuk mengalami atau menerima wahyu Ilahi?

Hal itu sebagai penguat dan bukti yang meyakinkan akan adanya fenomena wahyu Ilahi.

Melalui kekuatan yang melekat, memungkinkan setiap orang yang semula tidak percaya pada yang gaib, bisa menjadi saksi potensial terhadap 'orang yang sempurna'.

Ketika seorang pendosa mendengar dari orang-orang 'sempurna' sesuatu yang termasuk dalam pengalamannya yang terbatas, dia tentu tidak dapat menyangkal dan menganggap tidak mungkin ada pengalaman ruhani orang-orang saleh, setelah dia melihat atau mengalami sendiri fenomena itu. Dengan memiliki bagian kekuatan ruhani itu, maka si pendosa sendiri menjadi salah satu bukti dari Allah Ta'ala. Jika dia menyangkal adanya fenomena ruhani, maka dia sendiri menjadi bersalah karena berbohong.

(Disarikan dari buku Tauzih-i Maram, hlm. 37-39).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar